BLUE CHRISTMAS

Jumat, 01 Oktober 2010

EKSISTENSI USAHA KECIL DAN MENENGAH

Definisi
Di dalam UU No. 9/1999 tersebut ditetapkan bahwa Usaha Kecil (UK) adalah suatu unit usaha yang memiliki nilai neto (tidak termasuk tanah dan bangunan) yang melebihi Rp. 200 juta, atau penjualan per tahun tidak lebih besar dari Rp. 1 miliar. Sedangkan, menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1999 tersebut, Usaha Menengah (UM) adalah suatu unit usaha dengan nilai asset neto (di luar tanah dan gedung) antara Rp. 200 juta hingga Rp. 10 miliar; di atas itu adalah Usaha Besar (UB).
Menurut BPS (2000), Industri Kecil (IK) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang yang paling banyak 19 orang termasuk pengusaha. Sedangkan, Industri Rumah Tangga (IRT) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha. Unit-unit usaha tanpa pekerja (self-employment unit) termasuk di dalam kategori ini. Sedangkan, IMB adalah unit usaha yang mengerjakan lebih dari 20 orang.

Struktur Dualistis
Dibandingkan IK, IRT pada umumnya adalah unit-unit usaha yang sifatnya lebih tradisional, dalam arti tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang baik seperti lazimnya dalam suatu perusahaan modern: tidak ada pembagian tugas kerja dan sistem pembukuan yang jelas. Sebagian IRT terdapat di daerah pedesaan, dan kegiatan produksinya pada umumnya musiman erat kaitannya dengan siklus kegiatan di sektor pertanian.
Adanya keterkaitan ekonomi yang erat ini antara sektor pertanian dan IRT karena pada umumnya pemilik usaha/pengusaha dan sebagian besar tenaga kerja di IRT berprofesi sebagai petani atau buruh tani.

Jumlah Unit Usaha
Tahun 1998, jumlah IK dan IRT di atas 2,5 juta unit, dan merupakan bagian terbesar (99,26%) dari keseluruhan jumlah unit usaha di sektor industri manufaktur. Pada tahun 2000 kelompok usaha ini masih merupakan bagian terbesar, walaupun persentasenya sedikit menurun menjadi 99,10 %.
Jumlah IK sendiri pada tahun 2000 tercatat 194 ribu unit lebih yang tersebar di semua subsektor manufaktur. Kelompok-kelompok industri yang menjadi konsentrasi IK adalah industri makanan, minuman dan tembakau , industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, dan industri kayu dan barang dari kayu, bamboo, rotan, rumput, dan sejenisnya.
IK dan IRT di Indonesia secara tradisional memiliki spesialisasi di jenis-jenis industri yang membuat barang-barang sederhana dengan kandungan teknologi rendah.

Pengusaha : Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin.
Sebagian besar pengusaha IK dan IRT hanya berpendidikan SD ke bawah, sekitar 80,5 %, dan di antaranya 37 % lebih tidak tamat. Sedangkan jumlah pengusaha yang memiliki pendidikan SLTP dan SLTA dan Diploma (D1 dan D2) masing-masing hanya sekitar 11,27 % dan 7,62 %. Yang memiliki D3 ke atas tidak sampai 50 % dari jumlah pengusaha IK dan IRT.
Struktur pendidikan dari pengusaha IK dengan yang dimiliki oleh pengusaha IRT tidak jauh berbeda.

Pekerja : Pendidikan, Status dan Jenis Kelamin.
Salah satu faktor penting yang membuat Indonesia hingga saat ini masih terbelakang dalam pembangunan ekonomi, termasuk dalam persaingan global, dengan negara-negara Asia lainnya seperti Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, adalah karena pendidikan.
Sebagian besar pekerja di IK dan IRT hanya berpendidikan SD, bahkan banyak diantaranya tidak sampai tamat. Namun sebagai perbandingan, tingkat pendidikan rata-rata pekerja di IK lebih baik daripada di IRT.
Masalah SDM dengan pendidikan baik tidak hanya masalah IK dan IRT, tetapi juga dialami oleh IM dan IB, walaupun persentasenya jauh lebih kecil. Dalam perkataan lai, tingkat pendidikan rata-rata pekerja di sektor industri manufaktur nasional masih lebih rendah dibandingkan negara-negara industri maju di Asia.

Produktivitas dan Kontribusi Output
Tingkat produktivitas dan kontribusi output adalah suatu variabel penting yang terkait, dalam arti peningkatan produktivitas dari salah satu faktor produksi, atau dari semua faktor-faktor produksi yang digunakan dalam suatu industri untuk membuat kontribusi output dari industri tersebut meningkat terhadap misalnya pembentukan PDB. Oleh sebab itu tingkat produktivitas dari suatu industri atau perusahaan sering digunakan sebagai salah satu indikator penting untuk mengukur kinerja industri/perusahaan tersebut, misalnya tingkat efisiensinya.
Produktivitas tenaga kerja di IK dan IRT jauh lebih rendah dibandingkan di IM dan IB; demikian juga perbedaan dalam pangsa output antara kelompok pertama dengan kedua tersebut sangat besar.
Selain untuk mengukur efisiensi, perkembangan produktivitas tenaga kerja di IK dan IRT juga menunjukkan apakah golongan industri tersebut yang relatif padat karya dibandingkan IM dan IB berarti sekali bagi perekonomian nasional.

Struktur Modal
Modal adalah salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi setiap usaha, baik skala kecil, menengah maupun besar. Dalam banyak studi/literatur sering disebut bahwa modal sering menjadi faktor penghambat uatama bagi perkembangan usaha atau pertumbuhan output IK dan IRT, karena kelompok unit usaha ini, seperti yang juga dialami oleh banyak UK di sektor-sektor lainnya, sering mengalami keterbatasan modal.
Struktur modal usaha IK dan IRT secara bersama pada tahun 2000 menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok unit usaha ini dibiayai oleh modal sendiri, sedangkan jumlah unit usaha yang memakai modal sendiri dan pinjaman hanya sedikit. Antara IK dan IRT terdapat perbedaan, walaupun tetap menunjukkan pola hampir serupa, dimana banyaknya usaha IK yang sepenuhnya menggunakan modal sendiri hampir 78 %. Sedangkan sebagian dari kebutuhan finansial dibiayai dengan pinjaman, dalam kelompok IRT persentasenya lebih kecil (12,16%) dibandingkan kelompok IK (23,43%).

Efisiensi
Selain produktivitas, tingkat efisiensi dari penggunaan faktor-faktor produksi atau input juga merupakan salah satu indikator penting dari kinerja suatu perusahaan atau industri. Semakin sedikit penggunaan input untuk membuat output dalam jumlah tertentu, semakin tinggi tingkat efisiensi dari penggunaan input tersebut.
Dalam hal efisiensi, data BPS 2000 menunjukkan bahwa ternyata kinerja IRT ternyata lebih baik daripada IK (47,40 banding 61,62); walaupun secara disagregat ada variasi menurut subsektor.
Nilai tambah IK terkonsentrasi di subsektor-subsektor pertanian sampai pertambangan, dan ini dapat dipakai sebagai salah satu indikator yang menunjukkan bahwa spesialisasi IK adalah di subsektor-subsektor tersebut; sedangkan IRT mempunyai spesialisasi di subsektor pertanian dan subsektor manufaktur.

Sifat Permasalahan
Ada beberapa masalah yang umum dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal keja dan/atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku yang kualitas yang baik dan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi, SDM dengan kualitas yang baik (terutama manajemen dan teknisi produksi), informasi khususnya mengenai pasar, dan kesulitan dalam pemasaran (termasuk distribusi). Dua masalah eksternal yang oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggap paling serius adalah keterbatasan akses ke bank dan distorsi pasar (output maupun input) yang disebabkan oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan atau peraturan-peraturan pemerintah yang tidak kondusif, yang disengaja maupun tidak disengaja lebih menguntungkan pengusaha besar, termasuk investor asing (PMA).
Dalam kondisi seperti ini, faktor-faktor seperti penguasaan teknologi dan informasi, modal yang cukup, termasuk untuk melakukan inovasi dalam produk dan proses produksi, Pembaharuan mesin dan alat-alat produksi, dan untuk melakukan kegiatanpromosi yang luas dan agresif, pekerja dengan keterampilan yang tinggi, dan manajer dengan entrepreneurship dan tingkat keterampilan yang tinggi dalam business management serta memiliki wawasan yang luas menjadi faktor-faktor yang sangat penting, untuk paling tidak mempertahankan tingkat daya saing global.

Kasus-Kasus UKM
Kasus yang paling sering dialami oleh UKM adalah keterbatasan modal, disusul kemudian dengan kesulitan dalam pemasaran, sebagian masalah bahan baku yang terlalu mahal, lokasi yang jauh, biaya penyimpanan stok dan mahal.
Jumlah pengusaha yang mengatakan keterbatasan SDM merupakan suatu masalah serius ternyata tidak banyak, baik yang berlokasi di daerah pedesaan maupun di perkotaan.
Hanya sedikit dari mereka yang mengatakan tidak ada masalah serius dengan pemasaran. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada umumnya mereka membuat barang-barang sederhana untuk kebutuhan pasar lokal bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Jumlah responden yang mengaku bahwa persaingan pasar merupakan salah satu masalah serius relatif kecil.

Pembahasan Permasalahan
Dalam literatur, pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi perkembangan UKM.
Salah satu aspek yang terkait dengan masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh UKM adalah tekanan-tekanan persaingan, baik di pasar domestik dari produk-produk serupa buatan UB dan impor, maupun di pasar ekspor.
Selain terbatasnya informasi, banyak pengusaha kecil dan menengah, khususnya mereka yang kekurangan modal dan SDM dan mereka yang berlokasi di daerah-daerah pedalaman yang relatif terisolasi dari pusat-pusat informasi, komunikasi dan transportasi juga mengalami kesulitan untuk memenuhi standar-standar internasional yang terkait dengan produksi dan perdagangan.
UKM, khususnya UK di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial: mobilisasi modal awal (star-up capital) dan akses ke modal kerja dan finansial jangka panjang untuk investasi.
Lokasi bang terlalu jauh bagi banyak pengusaha yang tinggal di daerah yang relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu bertele-tele, dan kurang informasi mengenai skim-skim perkreditan yang ada dan prosedurnya.
Jumlah pengusaha yang membiayai usahanya sepenuhnya dengan uang sendiri atau dengan modal sendiri dan pinjaman, lebih banyak daripada jumlah pengusaha yang menggunakan 100 % modal dari pihak lain.
Perbedaan kinerja dan perspektif bisnis jangka panjang IK dengan IRT yang merupakan salah satu faktor penting yang selalu dipertimbangkan oleh bank.
Sebagian besar dari pengusaha-pengusaha yang tidak pernah pinjam uang dari bank mengaku bahwa tidak punya agunan merupakan alasan utama mereka; walaupun paling banyak terdapat di kalangan pengusaha IRT.
Kurangnya informasi mengenai prosedur peminjaman, atau prosedurnya terlalu sulit dan makan waktu, atau suku bunga pinjaman tinggi.
Keterbatasan SDM juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak UKM di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data processingi, teknik pemasaran, dan penelitian pasar.
Untuk menanggulangi masalah SDM ini, memberikan pelatihan langsung kepada pengusaha sangat penting dan ini merupakan satu-satunya cara yang paling efektif. Akan tetapi, banyak UKM, khususnya usaha mikro, tidak sanggup menanggung sendiri biaya pelatihan.
Keterbatasan SDM merupakan salah satu ancaman serius bagi UKM Indonesia untuk dapat bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
Keterbatasan bahan baku (dan input-input lainnya) juga sering menjadi salah satu kendala serius bagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi banyak UKM di Indonesia.
UKM di Indonesia umumnya masih menggunakan teknologi lama/tradisional dalam bentuk mesin-mesin tua atau alat-alat produksi yang sifatnya manual. Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah, yang tingkat intensitas dan sifatnya berbeda.
Masalah yang paling sering disebut adalah keterbatasan modal dan kesulitan dalam pemasaran.
UKM kurang berkembang karena kurang didukung pemerintah. Kalau di Korea ada kebijakan yang adil untuk memberi kesempatan kepada pedagang sejenis kaki lima.untuk berdagang., bukan malah diusir. Bahkan harusnya diberi kemudahan pendanaan. Contoh di Korea lulusan luar negeri diberi pinjaman untuk modal usaha dengan jaminan ijazah yang mereka punya.

Konteks Berubahnya Usaha Berskala Kecil
Lingkungan bisnis menghadirkan tantangan serius bagi wirausaha dan perusahaan kecil dan menengahnya. Terminologi bisnis berskala kecil dan menengah (small and medium enterprise business) melihat tiga perkembangan yang dapat disebut sebagai usaha yang serius pada bisnis tersebut. Jika bisnis tersebut tetap kompetitif atau melampaui pesaing perusahaan yang lebih besar.
Tantangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan superstore
2. Perluasan teknologi informasi dan internet
3. Timbulnya perekonomian global


Sebuah Tinjauan Umum
Sudah cukup banyak studi mengenai kinerja dan kendala-kendala (growth constraints) yang dihadapi oleh UKM di berbagai negara. Pada umumnya studi-studi tersebut menganalisis sifat atau pola perkembangan UKM dalam kondisi atau tingkat perekonomian yang berbeda-beda, dan faktor-faktor yang menentukan keberadaan dan pertumbuhan kelompok unit usaha tersebut. Studi-studi ini mencoba menjawab pertanyaan, apakah keberadaan atau pertumbuhan UKM merupakan suatu gejala alami atau suatu proses evaluasi: pada suatu kondisi ekonomi tertentu UKM berkembang sangat pesat, pendominasi sektor-sektor tertentu, sedangkan pada kondisi ekonomi yang lain kelompok unit usaha tersebut akan lenyap dengan sendirinya. Lenyap dapat berarti UKM tersebut gugur atau secara kelompok telah berkembang menjadi Usaha Besar.

Keberadaan UKM Secara Alami
Proses pembangunan ekonomi di suatu negara secara alami menimbulkan kesempatan besar yang sama bagi semua jenis kegiatan ekonomi semua skala usaha. Besarnya (size) suatu usaha tergantung pada sejumlah faktor. Dua diantaranya yang sangat penting adalah pasar dan teknologi (Panandiker, 1996).
Di sektor industri manufaktur, industri skala kecil dan menengah (IKM) membuat berbagai macam produk yang dapat digolongkan ke dalam dua kategori: barang-barang untuk keperluan konsumsi (final demand) dan industri seperti barang-barang modal dan penolong (intermediate demand). Walaupun jenis barangnya sama, IKM memiliki sementasi pasar tersendiri yang melayani kelompok pembeli tertentu.
Perbedaan selera atau pola konsumsi dalam masyarakat untuk barang yang sama juga sangat menentukan besar kecilnya pasar IKM.
Jenis barang lainnya di mana khususnya IK memiliki pasar yang secara alami terproteksi dari persaingan IB adalah kerajinan tangan seperti patung, ukir-ukiran, perhiasan, meubel dan dekorasi bangunan dari kayu, rotan atau bamboo.
Di dalam suatu ekonomi modern sekalipun, IKM tetap mempunyai suatu kesempatan besar untuk survive atau bahkan berkembang pesat hanya jika industri tersebut membuat jenis-jenis produk yang proses produksinya tidak mempunyai skala ekonomis, dan mengandung teknologi sederhana.
IKM memiliki segmentasi pasar sendiri yang melayani kebutuhan kelompok konsumen tertentu, yang pada umumnya berasal dari kalangan masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.
Dalam suatu proses pembangunan yang tercermin dari laju pertumbuhan PDB atau peningkatan pendapatan per kapita, kontribusi IK di negara bersangkutan mengalami perubahan.

Kondisi Umum UKM di Negara-Negara Berkembang
Karakteristik yang melekat pada UKM bisa merupakan kelebihan atau kekuatan yang justru menjadi penghambat perkembangan (growth constraints). Kombinasi dari kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal akan menentukan prospek perkembangan UKM.
Tantangan-tantangan yang dihadapi UKM di manapun juga saat ini dan yang akan datang adalah terutama dalam aspek-aspek berikut ini:
1. Perkembangan teknologi yang pesat: perubahan teknologi mempengaruhi ekonomi atau dunia usaha, dari dua sisi, yakni sisi penawaran dan sisi permintaan.
2. Persaingan semakin bebas: penerapan sistem pasar bebas dengan pola atau sistem persaingan yang berbeda dan intensifitasnya yang lebih tinggi.

Ketahanan UKM Dalam Suatu Gejolak Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 lalu, yang diawali dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan krisis moneter telah mengakibatkan perekonomian Indonesia mengalami suatu resesi ekonomi yang besar. Krisis ini sangat berpengaruh negatif terhadap hampir semua lapisan/golongan masyarakat dan hampir semua kegiatan-kegiatan ekonomi di dalam negeri, tidak terkecuali kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam skala kecil dan menengah.
Dampak daripada suatu gejolak ekonomi terhadap UKM perlu dianalisis dari dua sisi, yakni sisi penawaran dan sisi permintaan.

Efek Dari Sisi Penawaran
Efek negatif daru suatu gejolak ekonomi terhadap kinerja (perkembangan dan pertumbuhan output) UKM lewat sisi penawarannya berasal dari dua sumber.
1. Seperti yang dialami oleh Indonesia pada saat krisis mencapai klimaksnya (tahun 1998), akibat pengetatan likuiditas perekonomian nasional maka suku bunga pinjaman menjadi ekstra tinggi. Akibat meningkatnya suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang membuat suku bunga di bank-bank umum menjadi sangat tinggi, ditambah lagi dengan sulitnya pengusaha mendapatkan kredit baru dari bank, banyak usaha, tidak hanya UKM tetapi juga UB mengalami stagnasi.
2. Harga-harga dari bahan-bahan baku serta material-material produksi lainnya juga mengalami peningkatan yang tajam, khususnya bahan-bahan yang diimpor.
Dari sisi produksi, suatu krisis ekonomi seperti yang dialami oleh Indonesia itu juga dapat memberi sejumlah dorongan positif bagi pertumbuhan output di UKM.

KINERJA UKM DI INDONESIA
Di Indonesia, di lihat dari jumlah unit usahanya yang sangat banyak di semua sektor ekonomi dan kontribusinya yang besar terhadap penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan, khususnya di daerah pedesaan dan bagi rumah tangga berpendapatan rendah, tidak dapat diingkari betapa pentingnya UKM. Selain itu, selama ini kelompok usaha tersebut juga berperan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembangunan ekonomi dan komunitas lokal. Data terakhir dari BAPPENAS menunjukkan bahwa pada tahun 2002, ada sekitar 41,3 juta Usaha Kecil dengan rata-rata penjualan per tahun kurang dari Rp. 1 miliar, atau sekitar 99,85 % dari jumlah perusahaan di Indonesia. Pada tahun yang sama, ada 61.052 perusahaan dari kategori Usaha Menengah, dengan rata-rata penghasilan per tahun lebih dari Rp. 1 miliar tetapi kurang dari Rp. 50 miliar, atau sekitar 0,15 % dari jumlah unit usaha (data terlampir)
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, UKM memiliki peranan baru yang lebih penting lagi yaitu sebagai salah satu faktor utama pendorong perkembangan dan pertumbuhan ekspor non-migas dan sebagai industri pendukung yang membuat komponen-komponen dan spare parts untuk UB lewat keterkaitan produksi misalnya dalam bentuk subcontracting.

Kontribusi UKM Terhadap Kesempatan Kerja dan PDB
UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa, di satu pihak, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, dan di pihak lain, Usaha Besar (UB) tidak sanggup menyerap semua pencari pekerjaan. Ketidak sanggupan UB dalam menciptakan kesempatan kerja yang besar disebabkan karena memang pada umumnya kelompok usaha tersebut relatif padat modal, sedangkan UKM relatif padat karya. Kedua umumnya UB membutuhkan pekerja dengan pendidikan formal yang tinggi dan pengalaman kerja yang cukup, sedangkan UKM khusunya UK sebagian pekerjanya berpendidkan rendah. Data dari BAPPENAS menunjukkan bahwa pada tahun 2002, lebih dari 68 juta orang bekerja di UK, atau sekitar 88,7 % dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia. Ini berarti suatu kenaikan sebesar 2,65 % atau sekitar 1,76 juta orang dibandingkan tahun 2001; walaupun selama masa krisis (1997-1998) sempat mengalami penurunan sekitar 17,6 %. UM tahun 2001 mempekerjakan 7,9 juta orang, dan naik 4,7 %, atau hampir 372 ribu orang menjadi 8,2 juta orang tahun 2002 (data terlampir).
Dalam bentuk kontribusi terhadap pembentukan PDB (atas harga berlaku), UK menyumbang sekitar 41,2 % tahun 2002 dibandingkan 40 % tahun 2001. Kontribusi terbesar berasal dari sektor pertanian, bukan dari sektor industri manufaktur. Struktur kontribusi PDB ini menunjukkan bahwa UK di Indonesia masih lebih kuat di sektor pertanian, bukan di sektor industri seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Selama masa krisis (1997-1998) kegiatan di UK mengalami penurunan yang cukup besar dengan pertumbuhan output –19,3 %, dimana sektor-sektor yang paling parah adalah sektor pertambangan; dan sektor listrik, gas, dan air. Setelah periode (1999-2002) kinerjanya jauh lebih baik, hanya di sektor pertambangan dan sektor tranport dan komunikasi, output UK tumbuh pesat selama periode tersebut. Sementara itu output yang dihasilkan oleh UM menyumbang 19,8 % terhadap pembentukan PDB nasional tahun 1997 (sebelum krisis), tetapi tahun 2000 kontribusi PDB-nya mengalami penurunan menjadi 16,3 %. Selama krisis, laju pertumbuhan output UM secara total –34,5 %, dan di beberapa sektor bahkan output UM mengalami laju penurunan di atas total, seperti misalnya di sektor pertambangan, sektor industri manufaktur dan sektor bangunan. Setelah krisis sedikit produksi di UM mengalami sedikit perbaikan dengan pertumbuhan rata-rata per tahun –4,8 %; dan di beberapa sektor output UM tumbuh rata-rata positif. Pangsa PDB dari UB praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan selama periode 1997-2000, dan selama krisis juga mengalami pertumbuhan negatif. Hanya di dua sektor output UB tetap tumbuh positif yakni di sektor pertambangan; dan sektor keuangan, sewa dan jasa. Selama periode 1998-2000, rata-rata pertumbuhan output UB mengalami suatu perbaikan yang sangat signifikan, walaupun masih negatif, dan di banyak sektor mengalami pertumbuhan positif. Sebagai suatu perbandingan, UK dominan di beberapa sektor seperti sektor pertanian dan perdagangan, sektor hotel dan restoran dengan pangsa PDB UK di sektor pertanian mencapai 82 %. UM kuat, namun tidak dominan, hanya di sektor keuangan, sewa dan jasa; walaupun pangsanya mengalami penurunan dari 46 % tahun 1998 menjadi 39 % tahun 2000. Sedangkan UB dominan di empat sektor: pertambangan; industri manufaktu, listrik, gas dan air, dan jasa-jasa lainnya (data terlampir).

Kinerja Ekspor
Kemampuan UKM Indonesia untuk menembus pasar global atau meningkatkan ekspornya atau menghadapi produk-produk impor di pasar domestik ditentukan oleh suatu kombinasi antara sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan atas pesaing-pesaingnya.
Keunggulan suatu negara atau industri dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya.
Faktor-faktor yang diduga punya pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja ekspor UKM dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan dan faktor-faktor dari sisi penawarannya.
Baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran, tidak semua faktor-faktor tersebut merupakan variabel-variabel bebas, melainkan terdapat sejumlah interdependent variables.
Variabel-variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya tidak hanya terjadi dalam kelompok masing-masing, tetapi juga terjadi lintas kelompok.
Sejak pemerintah menerapkan kebijakan promosi ekspor nonmigas, khususnya manufaktur pada pertengahan decade 1980-an, ekspor Indonesia telah mengalami proses diversifikasi yang berlangsung relatif lambat dibandingkan di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Pertumbuhan ekspor dari kategori produk-produk berteknologi rendah dan padat karya memberi suatu kesempatan besar bagi IKM di Indonesia untuk meningkatkan partisipasinya dalam peningkatan ekspor manufaktur nasional.
Peranan UKM dalam pembentukan/pertumbuhan ekspor Indonesia masih kecil. UK dan UM masing-masing hanya menyumbang 2,23 % dan 10,73 % tahun 1999 dan 2,02 % dari 11,30 % tahun 2000.
Nilai ekpor IK lebih rendah dibandingkan nilai ekport IM, apalagi jika dibandingkan dengan nilai eksport IB, yang mencerminkan bahwa IK masih lemah dalam ekspor.

Liberalisasi Perdagangan
Persetujuan putaran Uruguay dalam GATT tanggal 15 Desember 1983 di Geneva dan terbentuknya WTO di Maroko tahun 1994 dimaksud untuk memberlakukan liberalisasi perdagangan dunia yang bukan hanya bebas (free trade) tetapi juga adil (fair trade).
Tujuan akhir yang hendak dicapai melalui persetujuan WTO tersebut adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dunia, yang diharapkan dapat dicapai lewat peningkatan volume perdagangan dunia.
Di satu pihak, liberalisasi perdagangan dunia pasti akan memberi banyak peluang bagi semua usaha di semua sektor, tidak hanya yang masuk dalam kategori tradeables tetapi juga yang non-tradeables.
Bagi banyak UKM, khususnya UK di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia, keharusan memenuhi standarisasi internasional seperti di atas dalam periode jangka pendek bisa merupakan suatu rintangan baru (mungkin lebih sulit atau ruwet dibandingkan kesulitasn pemasaran akibat penerapan tarif proteksi) bagi produk-produk mereka untuk menembus padar dunia khususnya di negara-negara industri maju.
Agar suatu perusahaan dapat bersaing di era perdagangan bebas, baik di pasar eksport, ada dua kondisi utama yang perlu dipenuhi. Pertama, lingkungan internal dalam perusahaan harus kondusif, yang mencakup banyak aspek, mulai dari kualitas SDM, penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, hingga tingkat entrepreneurship. Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terdiri dari lingkungan domestik dan lingkungan global.

Kebutuhan Memfokuskan Pada Gender
Jumlah perempuan yang terlibat sebagai wirausaha di UKM, khususnya UK, di Indonesia cukup signifikan, baik sebagai pemilik atau sebagai pimpinan usaha atau sebagai manajer bersama dalam usaha suami. Kewirausahaan perempuan memiliki tradisi yang kuat terutama di sektor perdagangan kecil (eceran), dan industri makanan dan minuman, pakaian jadi, termasuk batik, industri kayu dan barang dari kayu, bamboo, dan rotan, termasuk perabot rumah tangga dan kosmetika yang memang merupakan bisnis yang didominasi oleh kaum perempuan.
Lebih dari 50 % dari jumlah unit usaha yang dipimpin oleh perempuan terdapat di subsektor-subsektor pertanian hingga pertambangan.
Pentingnya sektor perdagangan bagi perempuan, tidak hanya sebagai pengusaha tetapi juga sebagai pekerja, dapat juga dilihat dari data agregat menurut sektor ekonomi.
Selain sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran menjadi konsentrasi terbesar kedua bagi perempuan.
Di negara-negara berkembang/miskin, termasuk Indonesia, banyak perempuan melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah seperti menjadi pedagang kecil, pemilik warung dan membantu suami mengelola usaha rumah tangga semata-mata untuk menambah pendapatan keluarga.
Semakin bisnis bersifat formal atau semakin modern atau skala usaha semakin besar atau intensitas modalnya semakin tinggi, semakin sedikit perempuan yang terlibat di dalamnya seagai pengusaha.
Secara hipotesis, dapat diduga bahwa ada suatu korelasi negatif antara tingkat partisipasi perempuan sebagai pengusaha dan skala usaha atau tingkat modernisasi usaha.
Ada perbedaan antara perempuan pengusaha dan pengusaha lelaki, yang ditentukan terutama oleh budaya dan aspek-aspek yagn menyentuh seperti penilaian sosial/masyarakat umum terhadap perempuan karier, beban rangkap (sebagai ibu rumah tangga dan pelaku bisnis) dan keterbatasan mobilitas.
Perempuan di UKM bekerja lebih keras dengan jam kerja yang lebih panjang dibandingkan rekan laki-laki mereka; namun, di pihak lain, perempuan serng juga dianggap kurang berani mengambil risiko, sehingga implikasinya adalah bahwa usaha-usaha yang dipimpin oleh perempuan bersifat kurang dinamik.

Pengembangan UKM Yang Kondusif Terhadap Gender
Baru-baru ini program-program pengarusutamaan gender telah dimasukkan ke dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan dari sebagian besar negara Eropa. Pendekatan pengarusutamaan gendr adalah bagian dari perjanjian-perjanjian Uni Eropa (UE). Sebagai suatu langkah awal semua negara-negara UE diinstruksikan untuk membuat data terpereinci mengenai gender sebagai suatu pra-kondisi untuk mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan dan kebutuhan spesifik dan untuk memonitor kemajuan terhadap Kesetaraan gender di dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Langkah-langkah kebijaksanaan konkrit selama ini memfokuskan pada undang-undang anti diskriminasi, langkah-langkah yang disepakati dan regulasi-regulasi kuota. Seperti di Indonesia, sebagian besar negara-negara maju baru saja memulai mengembangkan pendekatan-pendekatan spesifik untuk mempromosikan perempuan pengusaha-pengusaha.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program penunjang UKM di UE yang sepanjang sejarah terfokus pada sektor industri manufaktur yang didominasi oleh laki-laki, secara perlahan difokuskan ke sektor-sektor ‘perempuan’ seperti pariwisata, perdagangan, dan pelayanan kesehatan.
Kadangkala, keterampilan-keterampilan teknik perempuan kurang berkembang, hingga harus dicerminkan dalam isi, kemampuan berbahasa dan kasus-kasus yang disediakan dalam pelatihan.

Menuju Lingkungan UKM Yang Lebih Ramah Terhadap Gender
Keuletan yang membuat banyak perempuan wirausaha dapat bertahan atau bahkan ada yang menunjukkan kinerja yang baik seharusnya menjadi perhatian utama para pembuat kebijaksanaan untuk meningkatkan kesempatan perempuan dalam menggunakan keterampilan wirausaha dan manajerial mereka. Langkah-langkah kebijaksanaan yang harus diambil menyangkut:
1. Tinjauan atas prioritas sektor
2. Meningkatkan kesadaran gender
3. Mendukung lingkungan gender yang kondusif
4. Mempromosikan penghargaan masyarakat terhadap perempuan wirausaha
5. Peningkatan akses perempuan pengusaha terhadap pembiayaan
6. Penyederhanaan persyaratan-persyaratan birokratis dan peningkatan informasi mengenai pajak
7. Pengembangan pusat-pusat informasi mengenai wanita untuk UKM
8. Merefleksikan aspek-aspek khusus gender di dalam program-program pelatihan UKM.
9. Mengintegrasikan gender ke dalam pembuatan kebijakan UKM
10. Penguatan peran asosiasi-asosiasi usaha.
11. Mengumpulkan data disagregat gender.

STRATEGI PENGEMBANGAN UKM




Kinerja, Masalah dan Tantangan
Pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) , termasuk usaha mikro dan koperasi, memerlukan upaya yang besar, proses dan waktu, serta komitmen segenap komponen masyarakat. Hal ini mengingat keberadaan UKM, termasuk yang usaha berskala mikro serta koperasi, sangat dominan tetapi perkembangannya masih tertinggal dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang lain. Perkembangan UKM pada tahun 2002 yaitu:

Skala Usaha
Kriteria Volume Usaha
(Rupiah/tahun)
Unit Usaha
Tenaga Kerja
Sumbangan
terhadap PDB non-migas (%)

(ribu unit)
%
(ribu orang)
%

Usaha Kecil

< Rp. 1 miliar
41.301,3
99,85
68.275,6
88,70
46,7

Usaha Menengah

< Rp. 50 miliar
61,1
0,15
8.272,0
10,75
17,2

Usaha Besar

> Rp. 50 miliar
2,2
0,01
423,7
0,55
36,1

Masalah yang perlu dicermati adalah tingginya perbedaan produktivitas (PDB per tenaga kerja per tahun) yang mencerminkan kesenjangan pendapatan tenaga kerja dan unit usaha antara masing-masing skala usaha. Tampak bahwa pada tahun 2002 terdapat perbedaan produktivitas yang besar.

Skala Usaha

PDB per Tenaga Kerja (Juta Rupiah)
PDB per Unit Usaha
(Juta Rupiah)

Usaha Kecil
9,7
16,1

Usaha Menengah
29,5
4.000,6

Usaha Besar
1.211,5
233.561,1

Sebagai catatan tambahan, menurut data BPS (Survei Usaha Terintegrasi – SUSI) pada tahun 2000, terdapat sekitar 15 juta unit usaha (dengan volume usaha kurang dari Rp. 500 juta/tahun) yang belum berbadan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa 38 persen dari lapisan bawah usaha kecil merupakan usaha informal. Tenaga kerja pada usaha informal ini berjumlah lebih dari 27,6 juta tenaga kerja, dengan proporsi tenaga yang tidak dibayar sekitar 81 persen. Sementara itu, dengan merujuk pada kriteria usaha mikro (volume usaha < Rp. 50 juta per tahun), sekitar 99 persen dari usaha informal ini tergolong usaha mikro.
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan UKM mencakup aspek yang luas dan telah berlangsung lama, antara lain:
1. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam aspek manajemen, organisasi, dan teknologi;
2. Lemahnya kompetensi kewirausahaan;
3. Keterbatasan akses terhadap permodalan, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya; dan
4. Kurang mendukungnya iklim usaha karena permasalahan kebijakan, termasuk regulasi, birokrasi dan retribusi yang berlebihan dan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga menyebabkan beban biaya transaksi yang besar kepada UKM.
Tantangan utama yang dihadapi antara lain adalah pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya perkembangan teknologi; implementasi (public and private) good governance, termasuk penerapan praktik etika usaha yang baik, di kalangan pemerintah dan dunia usaha; dan penuntasan reformasi perbankan yang sangat penting bagi perkembangan sektor riil.

Kerangka Pengembangan UKM





























Dalam kerangka tersebut, strategi pembangunan UKM dipandang sebagai upaya perubahan struktural melalui kebijakan dan program pembangunan untuk meningkatkan produktivitas dengan cara:
1. Membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya dan memberikan kepastian berusaha atas dasar kesetaraan, keadilan dan efisiensi;
2. Memperluas akses UKMK kepada sumberdaya produktif (finansial dan non-finansial) agar mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang tersedia dan peluang berusaha yang terbuka; dan
3. Meningkatkan kemampuan pengusaha kecil dan menengah agar dapat mengembangkan keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif.
Sesuai dengan UU No. 25 Th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), lingkup strategi pengembangan UKM meliputi:
1. Pada tataran makro mencakup upaya penciptaan iklim yang kondusif;
2. Pada tataran meso mencakup upaya peningkatan akses kepada sumberdaya produktif melalui perkuatan lembaga-lembaga pendukung pengembangan usaha; serta
3. Pada tataran mikro mencakup upaya pengembangan kewirausahaan dan UKM berkeunggulan kompetitif.
Pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan program adalah melalui penguatan kelembagaan dan peningkatanan kapasitas. Penguatan kelembagaan memiliki fokus pada penyempurnaan/ pengembangan kelembagaan/institusi, baik yang bersifat undang-undang/peraturan/kebijakan maupun institusi pengembang sumberdaya UKM. Peningkatan kapasitas pada intinya adalah peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, baik yang menangani pengelolaan di bidang kelembagaan maupun pelaku UKM sendiri.
Agar kebijakan strategis sebagaimana tertuang di dalam Propenas dapat diimplementasikan secara sinergik, maka pada tahun 1999 dibentuk Kelompok Kerja Lintas Kementerian untuk Pengembangan UKM (Inter-Ministerial Task Force for SME Development) di tingkat nasional. Kelompok kerja (selanjutnya disebut Pokja UKM) tersebut merupakan forum lintas-pelaku yang keanggotaannya meliputi perwakilan pemerintah (Meneg KUKM, Menko Perekonomian, Bappenas, Depperindag, Depkeu, Deptan, Meneg PM & BUMN, BI) dan perwakilan swasta dan masyarakat seperti asosiasi, LSM, dan universitas. Pokja UKM ini terdiri dari 3 Sub Kelompok yaitu (1) Bidang Pengembangan Iklim Usaha, (2) Bidang Pendanaan, dan (3) Bidang Layanan Pengembangan Usaha. Pada bulan September 2002, Pokja UKM diperbaharui susunan keanggotaannya melalui Keputusan Menteri Negara Koperasi & UKM No. 97.1/Kep/M.KUKM/IX/2002 mengenai Tim Pengembangan UKM.
Pokja UKM tersebut telah menyusun Rencana Tindak Jangka Menengah (RTJM) Pengembangan UKM yang memuat kumpulan rencana aksi berskala nasional yang merupakan hasil penjabaran lebih lanjut dan rinci dari Propenas dengan memasukkan berbagai aspirasi lintas pelaku di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota, serta rekomendasi dari beberapa kajian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional (ADB, World Bank, JICA, GTZ, ILO, dan USAID). Lingkup rencana tindak dalam RTJM mencakup setiap agenda utama pengembangan UKM dalam Propenas, yang meliputi penciptaan iklim usaha, pembiayaan, layanan pengembangan usaha, serta kewirausahaan dan UKM berkeunggulan kompetitif.
Strategi pelaksanaan rencana tindak dalam RTJM secara nyata terakomodasi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Materi Repeta 2001, Repeta 2002, Repeta 2003, dan konsep Repeta 2004 mengadopsi materi RTJM, tentunya setelah memperhatikan pentahapan dan skala kebutuhannya. Sementara itu, berbeda dengan Propenas dan Repeta yang ditetapkan melalui undang-undang sehingga bersifat tetap dalam jangka waktu yang ditentukan, maka RTJM ini tidak bersifat kaku sehingga dapat terus diperbaiki dengan mengakomodasi setiap perubahan yang berdampak nasional akibat perkembangan yang terjadi, baik di tingkat lokal dan nasional maupun internasional. Keterkaitan antara Propenas, RTJM dan Repeta adalah sebagai berikut:















RTJM diharapkan dapat menjadi pedoman bagi setiap instansi pemerintah dan masyarakat baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota dalam merencanakan dan melaksanakan pengembangan UKM. Sementara itu rencana pelaksanaan RTJM secara rinci di daerah dapat disusun sesuai dengan kondisi dan situasi daerah dengan tetap mengacu kepada Propenas serta prinsip-prinsip pemberdayaan UKM.
Berkaitan dengan peran pemerintah dalam pengembangan UKM, perlu dikembangkan secara lebih luas peran sebagai fasilitator, baik di tingkat nasional maupun daerah. Peran sebagai fasilitator ini sejalan dengan semangat pengembangan UKM yang berbasis pasar selain mengingat sumberdaya (finansial dan non-finansial) yang dimiliki pemerintah yang terbatas, sementara jumlah unit UKM sangat besar dengan jenis lapangan usaha yang beragam dan lokasi usaha yang tersebar.
Fokus sasaran dari pengembangan UKM yaitu lebih kepada UKM yang memiliki potensi besar dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan, terlepas dari keragaman sektor dan jenis usahanya. UKM dalam klasifikasi ini merupakan usaha yang bersifat dinamis serta telah siap untuk tumbuh dan bersaing; dan usahanya tidak lagi terbatas untuk memenuhi kebutuhan dari hari ke hari. Namun disadari bahwa sebagian dari kelompok sasaran pengembangan UKM masih layak untuk dikategorikan sebagai sasaran upaya pengentasan kemiskinan, seperti usaha mikro (informal) dan sebagian usaha kecil lapisan terbawah. Upaya yang dikembangkan untuk kelompok sasaran ini pada tahap awal lebih ditekankan pada fasilitasi penyediaan bantuan pendanaan, seperti kredit mikro dan bantuan dana bergulir, sehingga usahanya dapat bertahan untuk menjamin adanya penghasilan yang tetap. Upaya ini dapat dilengkapi dengan fasilitasi dan bantuan peningkatan kewirausahaan dan kemampuan manajemen usaha. Pada tahap ini, usaha mikro dan kecil tersebut didorong untuk meningkatkan usahanya menjadi unit usaha yang lebih mapan serta nantinya siap untuk tumbuh dan bersaing.


KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG UKM




Otonomi Daerah dan Peluang Bagi UKM Di Daerah
Munculnya krisis ekonomi yang disusun kemudian dengan lengsernya Suharto, Timbulnya krisis politik dan sosial, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan semakin parahnya hak azasi manusia (HAM), semua ini seakan-akan memberi suatu kesempatan besar bagi masyarakat di daerah, yang selama pemerintahan Orde Baru sangat tertekan, untuk menuntut kemerdekaan atau mendapatkan otonomi yang lebih luas. Isu disintegrasi pun segera menyeruak dan menjadi salah satu topik hangat sejak Orde Reformasi hingga pemerintahan Megawati saat ini.
Gerakan disintegrasi tersebut akhirnya memunculkan dua undang-undang yang memberikan Keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dianggap sebagai salah satu konsekuensi positif dari proses reformasi sejak krisis ekonomi terjadi, yang mengisyaratkan telah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke sistem pemerintahan yang desentralistik.
Tujuan pokok dari UU No. 22 Tahun 1999 adalah untuk mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan Keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan daerah otonomi yang mandiri dalam rangka menegakkan sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945. Sedangkan, tujuan pokok dari UU No. 25 Tahun 1999 adalah upaya memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian darah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti, dan mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemda.

Pengembangan Ekonomi Regional
Pengembangan ekonomi nasional sejak dimulainya Pelita I (tahun 1969) memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro. Tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan tajam dari hanya sekitar US$ 50 pada pertengahan tahun 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pada pertengahan tahun 1990-an. Akan tetapi, dilihat pada tingkat meso dan mikro, pembangunan selama pemerintahan Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk distribusi pendapatan pribadi, maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi/pendapatan antardaerah/propinsi.
Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan dalam menganalisis kesenjangan pembangunan antarpropinsi, di antaranya adalah PDRB, konsumsi rumah tangga per kapita, human development index, kontribusi sektoral terhadap PDRB, ringkat kemiskinan, dan struktur fiskal.

Pertumbuhan UKM Menurut Wilayah
Dengan melihat distribusi unit usaha UKM menurut wilayah dapat diperoleh gambaran mengenai konsentrasi dan potensi UKM atau perkembangan antarwilayah. hampir mencapai 80 % dari seluruh jumlah unit usaha IK dan IRT di Indonesia berlokasi di wilayah kawasan barat Indonesia dengan luas wilayah hanya sekitar 31,8 % dari luas wilayah Indonesia. Dari sekitar 80 % ini, sebagian besar yakni hampir mencapai 67 % berada di Jawa dan Bali yang luasnya kurang dari 7 % dari luas wilayah Indonesia. Sedangkan di Sumatera yang luas wilayahnya hampir 25 % dari luas wilayah Indonesia hanya ada sekitar 286,5 ribu unit usaha atau hanya sekitar 13 % dari seluruh unit usaha IK dan IRT.
Semakin maju perekonomian suatu daerah semakin kecil peranan UKM, terutama UK atau usaha mikro, sedangkan UB semakin tinggi. Semakin tinggi pendapatan di suatu wilayah semakin kecil kontribusi UKM terhadap pembentukan PDRB.
Dalam suatu Propinsi di mana sektor pertaniannya mengalami surplus tenaga kerja, suplai tenaga kerja ke kegiatan-kegiatan ekonomi skala kecil dan menengah, khususnya usaha mikro, di luar pertanian lebih besar daripada di suatu Propinsi yang tingkat kepadatan pekerja di sektor pertaniannya lebih rendah.
Ternyata sebagian besar dari jumlah tenaga kerja yang bekerja di IRT dan IK di Indonesia terdapat di propinsi-propinsi yang sangat padat penduduk.
Tingkat kepadatan penduduk memang sangat berperan dalam menentukan keberadaan atau pertumbuhan IK dan IRT.
Perbedaan dalam pangsa pasar kerja di sektor industri manufaktur menurut skala usaha per Propinsi lebih erat kaitannya dengan perbedaan dalam tingkat pendapatan per kapita daripada dengan tingkat kepadatan penduduk.
Konsentrasi IK dan IRT paling banyak terdapat di daerah-daerah yang memiliki banyak SDA, seperti misalnya industri kecil makanan dan minuman di daerah pedesaan yang memakai komoditas-komoditas pertanian sebagai bahan-bahan baku utamanya.
Semakin tinggi pendapatan riil rata-rata masyarakat di suatu Propinsi semakin besar proporsi angkatan kerja yang bekerja di IK di Propinsi tersebut.
Tingkat pendapatan riil rata-rata masyarakat yang tinggi berasosiasikan positif dengan tingkat permintaan pasar yang tinggi terhadap produk-produk IK dan dengan besarnya suplai tenaga kerja ke industri tersebut.
Tingkat pendapatan riil per kapita yang lebih tinggi memberi suatu dampak negatif terhadap pertumbuhan IRT, baik lewat sisi permintaan (negative demandisde effect: permintaan terhadap produk-produk IRT berkurang) maupun lewat sisi penawaran (negative supply-side effect: suplai tenaga kerja dan wirausaha ke IRT berkurang).

Peluang Bisnis dan Tantangan Bagi UKM Di Daerah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, UKM di daerah akan menghadapi suatu perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap iklim berusaha/persaingan di daerah. Oleh sebab itu, setiap pengusaha UKM di daerah dituntut untuk dapat beradaptasi untuk menyesuaikan diri menghadapi perubahan tersebut. Oleh sebab itu, setiap pengusaha UKM di daerah dituntut untuk dapat beradaptasi untuk menyesuaikan diri menghadapi perubahan tersebut.
Sedangkan, di sisi lain, jika tidak ada kesiapan yang matang dari pengusaha-pengusaha UKM di daerah maka pemberlakuan otonomi daerah akan menimbulkan ancaman besar bagi mereka untuk dapat bertahan menghadapi persaingan dari luar daerah atau luar negeri. Dengan perkataan lain, tantangan yang pasti dihadapi setiap pengusaha UKM di daerah pada masa mendatang adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik-baiknya. Pemanfaatan kesempatan yang dimaksud tersebut misalnya dalam bentuk:
1. Bagaimana mereka dapat meningkatkan laju pertumbuhan usaha mereka.
2. Bagaimana mereka dapat menguasai pasar lokal atau menembus pasar di daerah lain.
3. Bagaimana mereka dapat menarik investor dari luar untuk menanam modalnya di daerahnya.
4. Sejauh mana kesiapan mereka untuk dapat bermitra.
5. Bagaimana pengusaha UKM setempat dapat bermitra dengan pengusaha di daerah lain.
6. Bagaimana pengusaha UKM di daerah dapat menarik proyek-proyek besar.
Tantangan bagi setiap pengusaha UKM di daerah adalah bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja usaha mereka paling tidak setara dengan kinerja pengusaha dari luar agar competition capability antara pengusaha daerah dengan pengusaha dari luar daerah sama.
Tantangan bagi setiap pengusaha UKM di daerah adalah kemampuan mereka untuk menjadi kontraktor bagi proyek-proyek besar.
Peluang terbaik dalam otonomi daerah yang juga dikaitkan dengan era perdagangan bebas terletak di kawasan Asia Pasifik dengan ekonominya yang besar dan dinamis.
Daya tarik Indonesia di kawasan Asia Pasifik dan bagian dunia lain diperkuat oleh sumber-sumber alam, angkatan kerja dan letak geografis yang sangat dibutuhkan dalam sistem produksi global.
Kemampuan setiap pengusaha UKM di daerah untuk dapat menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya sangat ditentukan oleh dua hal utama, yakni kemampuan mereka berproduksi dan kemampuan meningkatkan daya saing produk mereka secara relatif.
Semakin maju perekonomian suatu daerah semakin kecil peranan UKM, terutama UK atau usaha mikro, sedangkan UB semakin penting.
Pada tahap awal dari pembangunan, pertumbuhan UB secara relative terhadap pertumbuhan UKM meningkat hingga titik tertentu, dan setelah itu pada tahap akhir rasionya menurun.

Bentuk Kelembagaan Untuk Perumusan dan Implementasi Kebijaksanaan UKM
Pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan lembaga-lembaga yang relevan bagi perkembangan UKM telah mengalami suatu perubahan besar dalam tahun 1999 yang disebabkan oleh dua perubahan berikut. Pertama, reorganisasi dari Departemen Koperasi menjadi menteri negara (Menkop dan UKM). Dengan perubahan ini, Mengkop dan UKM tidak lagi terlibat dalam implementasi (kegiatan-kegiatan operasional di lapangan), tetapi hanya sebagai perumus kebijaksanaan koperasi dan UKM (KUKM) dan koordinator dari semua kegiatan-kegiatan pemberdayaan KUKM yang dirumuskan/dilakukan oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Kedua, perubahan yang disebabkan oleh pelaksanaan otonomi daerah.

Arah Kebijaksanaan UKM
Pada masa lampau, selama tahun 1970-an hingga pertengahan decade 1980-an, perhatian pemerintah Indonesia ditujukan hanya kepada perkembangan UK (termasuk usaha mikro); tidak ada perhatian secarea eksplisit diberikan kepda perkembangan UM. Pada waktu itu, kebijaksanaan UK dianggap sebagai satu bagian penting dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menyangkut penciptaan kesempatan kerja dan pendapatan, Penanggulangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi pedesaan.
Arah kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004.
Sistem ekonomi kerakayatan yang didasarkan pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas pada sosial, kualitas hidup, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam realitas, kebijaksanaan UKM (teruama UK) masih lebih berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan. Kebijaksanaan UKM belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijaksanaan ekonomi umum/makro di Indonesia.
Di dalam Strategi Industri Nasional yang dirumuskan oleh Depperindag semasa permintahan Presiden Gus Dur, pentingnya dan peranan dari IKM dalam pembangunan atau usaha-usaha penyempurnaan daya saing dari industri nasional tidak dinyatakan secara eksplisit.

Struktur Pemerintahan
Berdasarkan undang-undang yang berlaku, fungsi-fungsi utama dari MPR adalah memilih presiden dan wakilnya, dan menetapkan konstitusi dan garis-garis besar dari kebijaksanaan pemerintah dan negara. Sedangkan fungsi-fungsi utama dari badan legislatif (DPR) adalah membuat, merubah, menyempurnakan, atau menyetujui usulan peraturan-peraturan dan undang-undang, termasuk UU APBN berdasarkan usulan RAPBN dari Menteri Keuangan yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) lewat presiden, dan membantu pelaksanaan dari undang-undang dan realisasi dari APBN dan kebijaksanaan pemerintah.
Kesembilan komisi-komisi tersebut, masing-masing dengan bidang/sektornya adalah sebagai berikut:
Komisi 1 : Pertahanan dana keamanan, hubungan luar negeri dan informasi
Komisi 2 : Hukum, hak azasi manusia (HAM), dan masalah-masalah dalam negeri
Komisi 3 : Pertanian, kehutanan, dan kelautan (termasuk perikanan)
Komisi 4 : Transportasi, pemukiman, dan infrastruktur daerah
Komisi 5 : Industri, perdagangan, koperasi, turisme
Komisi 6 : Agama dan pendidikan
Komisi 7 : Kesehatan dan kesejahteraan sosial
Komisi 8 : Energi, sumber daya mineral, penelitian dan teknologi, dan lingkungan
Komisi 9 : Keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan.
Menteri keuangan adalah manajemen kunci dari pemerintah dan bertanggungjawab atas perumusan strategi ekonomi, kebijaksanaan fiskal (pendapatan pemerintah), anggaran nasional (APBN), manajemen BUMN, dan pengembangan lembaga-lembaga keuangan.
Departemen-departemen pemerintah (umum disebut departemen teknis) secara tradisional adalah motor utama untuk membuat, menjalankan dan mengefektifkan kebijaksanaan pemerintah.
Kementerian-kementerian non departemen yang dikenal dengan sebutan Menteri Negara tidak mengepalai suatu departemen. Mereka adalah Asisten-asisten dari Presiden.
Badan-badan pelaksana dibentuk untuk mematahkan struktur pemerintah yang kaku, yang susah digunakan, ke dalam unit-unit yang berdiri bebas dan lebih fleksibel.
Pasal 18 dari Konstitusi 1945 menetapkan struktur dasar dari pemerintah-pemerintah daerah, prinsip dari otonomi daerah, dan prinsip yang mana majelis-majelis dan pimpinan-pimpinan daerah harus dipilih secara demokrasi.
UU No. 22/1999 membuat suatu perbedaan yang jelas antara DPrD sebagai badan legislatif daerah, dan administrasi sebagai bagian eksekutif.
Peranan DPRD adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari undang-undang/peraturan-peraturan daerah yang disetujuinya, dan kebijaksanaan pemerintah daerah.
Sebelum dilaksanakan UU No. 22/1999 dan UU. 25/1999, sistem dari pemerintah daerah didasarkan pada UU. No. 5/1974. Tujuan dari UU ini adalah untuk memberi otonomi kepada Propinsi dan Kabupaten/kotamadya di dalam mengelola daerahnya berdasarkan kemampuan daerah.
Tidak ada hubungan antara Bupati/Walikota dengan Gubernur. Hanya fungsi koordinasi yang dapat dilakukan oleh Gubernur sebagai tingkat organisasi yang lebih tinggi.

Bentuk Kelembagaan dan Perumusan Serta Implementasi Kebijaksanaan UKM
Ada lima menteri kunci yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan KUKM, baik yang ditetapkan secara spesifik melalui suatu mandat dari Presiden, atau lewat kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi mereka. Kelima menteri tersebut adalah: Menegkop & UKM, Depperindag, Menkeu, Menko, dan BAPPENAS.
Kegaitan-kegiatan operasional dalam pengembangan KUKM, yang sebelumnya adalah tugas dan fungsi utama dari Menegkop & UKM sekarang ini menjadi tugas dan fungsi dari pemerintah-pemerintah daerah yang melibatkan partisipasi masyarakat di daerah.
Menegkop & UKM telah merumuskan Perencanaan Strategi tahun 2000 untuk pengembangan KUKM di Indonesia, dan semua menteri-menteri dan perwakilan-perwakilan pemerintah lainnya harus mendesain program-program mereka dan merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka sendiri yang langsung maupun tidak langsung menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi perkembangan KUKM di sektor-sektor mereka masing-masing.
Menegkop & UKM di bawah pembentukan yang baru bertugas merumuskan kebijaksanaan kUKM dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, dengan menyerahkan pelaksanaannya kepada menteri-menteri lain dan pemerintah daerah.
Untuk tahun 2002, seperti halnya dengan menteri-menteri dan departemen-departemen lainnya, Menegkop & UKM juga telah menyusun apa yang disebut Rencana Aksi 2002 yang berkaitan dengan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2002 yang disusun oleh BAPPENAS.
Sama seperti Menegkop & UKM, Depperindag juga telah menyusun Rencana Aksi tahun 2002 yang berkaitan dengan PROPENAS tahun 2002.
Efek langsung dari fungsi-fungsi Menkeui terhadap perkembangan UKM adalah lewat kebijaksanaan yang mengenal keharusan semua BUMN untuk membina KUKM dalam berbagai macam bentuk.
Dari sisi relevansi bagi kegiatan-kegiatan ekonomi UKM, adalah tanggung jawab Menko untuk menciptakan lingkungan kondusif yang berkelanjutan untuk kegiatan-kegiatan investasi, perdagangan, industri dan kegiatan-kegiatan ekonomi/sektoral lainnya.
BAPPENAS memiliki 5 wakil (deputy), masing-masing dengan 6 biro yang terkait dengan sejumlah aspek yang berbeda dari rencana pembangunan nasional (yakni terkait dengan sektor-sektor atau menteri-menteri), termasuk biro untuk pembangunan KUKM di bawah Perwakilan untuk Produksi.
Dalam kaitannya dengan APBN, perbedaan tugas antara Menkeu dan BAPPENAS adalah bahwa Menkeu menentukan berapa besar anggaran yang tersedia untuk, misalkan tahun 2002, yang dibagi dalam anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Sedangkan, BAPPENAS, sebagai perwakilan yang menangani rencana pembangunan, mengurusi satu bagian dari APBN yaitu anggaran pembangunan, dan mengalokasikannya menurut sektor dan program.
Sebelum berlakunya UU No. 22/199 dan UU No. 25/1999, pada tingkat regional/lokal, ada dua badan utama pemerintah yang terlibat dalam Implementasi dari aktivitas-aktivitas promosi UKM. Pertama adalah BAPEDA, dan yang satu lagi adalah kantor-kantor lokal dari departemen-departemen, disebut Kanwil pada tingkat Propinsi dan kandep pada tingkat Kabupaten/kota.
Banyak dari kegiatan-kegiatan pemberdayaan UKM yang selama ini (sebelum penerapan otonomi daerah) dilakukan oleh kantor-kantor lokal dari pemerintah pusat juga akan diserahkan kepada badan-badan otonomi daerah (dinas-dinas).
Inisiatif-inisiatif daerah akan lebih menonjol dalam perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan atau program-program pengembangan UKM di daerah.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi, termasuk KUKM harus didesentralisasikan kepada daerah. Berdasarkan ini, sesuai Perencanaan Strategis tahun 2000, pemerintah daerah akan menjadi vocal point untuk pemberdayaan KUKM sesuai proses ekonomi.

Mandat dan Implementasinya
Perbedaan peranan/kemampuan inti dalam promosi UKM antara Menegkop & UKM dengan menteri-menteri lainnya dan badan-badan tidak selalu jelas.
Banyak pejabat-pejabat atau pegawai-pegawai pelaksana yang memiliki visi yang berbeda mengenai peranan strategis dari UKM dalama perekonomian nasional dan pandangan yang berbeda mengenai misi mereka dalam pemberdayaan UKM.
Menegkop & UKM seharusnya bertanggung jawab hanya dalam perumusan kebijaksanaan nasional mengenai KUKM, tidak terlibat dalam kegiatan operasional.
Sering terjadi diplikat antara satu program dari satu departemen dengan program lain dari departemen lainnya.
Tidak konsistennya antara mandat yang diberikan dan implementasinya, dan sering terjadinya tumpang-tindih antara satu program dari satu departemen dengan program dari departemen lain, juga disebabkan oleh tidak optimalnya komunikasi internal dalam suatu departemen, tidak adanya koordinasi eksternal yang baik antar departemen, dan buruknya sistem manajemen informasi.

Koordinasi : Mekanisme, Struktur dan Prosedurnya
Dalam hal pembangunan ekonomi nasional, ada dua koordinator nasional, yaitu Menko dan BAPPENAS.
Menko mempunyai tanggung jawab dalam dua hal, yaitu merumuskan dan mengkoordinasi kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter, fiskal, investasi, perdagangan, dan industri. Menko juga memiliki tugas untuk mengkoordinasi semua menteri-menterio negara dan kepala-kepala dari departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah non-departemen.
Semua menteri yang mewakili sektor-sektornya membawa usulan-usulan mereka mengenai proyek-proyek dan program-program pembangunan ke BAPPENAS.
Garis-garis besar dari GBHN Tahun 1999-2004 mengatakan bahwa perspektif untuk pembangunan KUKM dalam sistem ekonomi kerakyatan harus memenuhi beberapa prinsip. Salah satunya adalah mengenai koordinasi antar lembaga-lembaga dalam kerangka kerja dari perumusan dan Implementasi kebijaksanaan dan program.
Dalam perencanaan Strategi 2000 dari Menegkop & UKM disebut bahwa setiap komponen dari masyarakat, lembaga-lembaga lokal dan pemerintah adalah bagian dari struktur koordinasi, di mana Menegkop & UKM adalah koordinator dari program-program pengembangan KUKM.
Departemen-departemen teknis, lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah harus mengirim proposal-proposal mengenai pemberdayaan KUKM di bidang merang masing-masing ke Menegkop & UKM.
Menegkop & UKM harus mensinkronisasi semuga program-program pemberdayaan KUKM untuk menjadi proposal rencana pembangunan KUKM, dan menyerahkannya kepada Menko dan menteri-menteri terkait untuk mengembangkan selanjutnya.

Masalah-masalah Dalam Kordinasi
Tingkat koordinasi yang rendah antar menteri dapat dilihat lwat beberapa “indikator”. Indikator pertama berkaitan dengan prosedur adimistrasi yang berbeda antara kantor pemerintah.
Indikator kedua adalah kriteria yang berbeda antar departemen dan badan pemerintah untuk mendefinisikan UKM.
Tidak hanya koordinasinya tidak bekerja baik, tetapi lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan koordinasi terhadap program-program pemberdayaan dan kegiatan-kegiatan KUKM terlalu banyak.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pada tingkat regional/lokal, ada dua badan utama pemerintah yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan promosi KUKM, yakni BAPPEDA dan Kanwil pada tingkat Propinsi dan kandep pada tingkat Kabupaten dan Kota.
Sering terjadi bahwa dalam persiapan atau perumusan suatu kebijaksanaan, menteri bersangkutan tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan kantor-kantor lokalnya atau menanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti atau tidak kebijaksanaan tersebut.






























PENTINGNYA PERAN JARINGAN DALAM PENGEMBANGAN UKM




Jaringan Pada Tingkatan Mikro
Sebuah masalah awal dalam perdebatan tentang hubungan jaringan adalah kebutuhan untuk memperkuat keberadaan hubungan jaringan sebagai cara khusus dalam mengorganisasi bisnis. Sebagaimana mustahil menjadi bisnis kecil tanpa hubungan, paling tidak terhadap pelanggannya jika bukannya pada pemasok dan juga pada tingkat pelayanan bisnis, tampaknya perlu bagi kita untuk membedakan “yang biasa” dengan hubungan jaringan.
Perspektif biaya transaksi meyakini bahwa jaringan bisnis merupakan bentuk organisasi perantara yang terletak di antara pasar terbuka dan hirarki manajemen. Transaksi berdasarkan pasar dianggap bekerja paling efektif ketika tiga kondisi dasar dipenuhi.
1. Hubungan yang dapat diuji dipertahankan antara pihak yang berdagang melalui sebuah kesepakatan di mana kedua belah pihak bebas untuk mengundurkan diri atau mengubahnya jika mereka tidak lagi puas dengan kesepakatan awal.
2. Pertukaran pelayanan atau barang dapat dideskripsikan dan diperkirakan secara memadai sebelum pembelian, sehingga kemungkinan pelanggan diminimalkan dan penyelesaian hukumnya relatif sederhana.
3. Ada tingkat kepastian dalam kondisi pasar sedemikian rupa sehingga asumsi di mana pesanan ditempatkan tetap berlaku berdasarkan rentang waktu kesepakatan.
Modal jaringan alokasi sumber mendapatkan nilai tambah melalui pertukaran yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan melalui otorisasi administratif dalam tiga ranah utama:
1. Penggunaan sumber yang ditingkatkan dan penyebaran resiko.
2. Fleksibilitas dan adaptabilitas.
3. Mengakses informasi dan keterampilan.

Jaringan Pada Tingkatan Makro
Meningkatnya perhatian dalam jaringan bisnis sebagian datang dari advokasi cara tertentu melakukan bisnis, untuk memanen keuntungan yang berasal dari kepercayaan karena kehendak baik dan untuk memaksimalkan hubungan untuk arus informasi yang beragam. Kepentingan dalam jaringan juga berasal dari pandangan tentang apa yang membentuk organisasi ekonomi.
Seperangkat jawaban menekankan asal-usul kebudayaan dan institusional struktur jaringan. Ketika kepercayaan merupakan masalah negosiasi individual, yang memungkinkan perubahan, pengalaman historis dan struktur sosial yang diwariskan pada umumnya mendesakkan pengaruh yang signifikan terhadap bentuk dan jangkauan kepercayaan yang ada dalam setiap kawasan.
Jaringan bisnis kecil yang dikonstruksi di seputar jaringan sosial berkembang melalui Asosiasi yang dibentuk oleh keluarga, sahabat dan kenalan. Dalam konteks bisnis kecil, Asosiasi ini bisa dibentuk oleh pemilik dan karyawan perusahaan, meskipun satu karakter bisnis keluarga dapat menjadi staf yang relatif berstatus rendah dan berpengaruh. Konstruksi jaringan sosial dipengaruh oleh dua kekuatan yaitu yang pertama jaringan hubungan personal dengan individu khusus dan kegiatan bisnis untuk mana mereka dilekatkan. Kedua adalah dimensi budaya yang lebih luas di mana partisipan beroperasi dan mentransfer nilai, sikap dan perilaku untuk membentuk sifat alami hubungan yang dibentuk.
Keterbatasan ruang di dalam sebuah distrik industri yang dispesialisasi merupakan ciri yang ditentukan jenis jaringan ini. Jaringan sosial dan bisnis keluarga merupakan komponen jaringan yang dilekatkan berdasarkan ruang, tetapi ini diberlakukan oleh integrasi melalui organisasi perantara yang berbagi afinitas yang kuat terhadap aspek kedaerahan.
Bentuk lain jaringan organisasi dibentuk bersama-sama melalui hubungan kepemilikan, investasi dan keanggotaan bersama. Tingkat integrasi dan kerja sama antara jaringan ini beragam meliputi seperangkat hubungan bisnis yang secara potensial meluas seperti yang telah diperdebatkan.
Jaringan pembeli-pemasok dibentuk melalui kontrak hubungan atau hubungan pertukaran yang sedang berlangsung, interaksi dan pembangunan bersama antara dua perusahaan atau lebih.

Menganalisis Jaringan
Perspektif umum mengatakan bahwa lebih banyak penekanan pada bentuk jaringan organisasi bisnis merupakan hal yang perlu dan tidak terhindarkan dalam konteks perubahan pasar dan teknologi di akhir abad kedua puluh. Sebuah pandangan alternatif mengatakan bahwa jaringan bisnis dipertahankan dengan beragam cara, masing-masing cara merujuk pada situasi bisnis tertentu dengan tingkat keuntungan yang berbeda terhadap mode alternatif penentu.
Dua pengaruh utama menerangkan perbedaan analisis yang secara tipikal mendominasi diskusi tentang jaringan. Pertama, bidang kajian utama yang mencoba menerangkan perbedaan dalam organisasi bisnis merupakan ekonomi biaya transaksi dan kedua adalah bahwa bagi banyak peneliti keuntungan jaringan merupakan sesuatu yang terlalu diyakini sehingga penjelasan terperinci tentang apa yang mempertahankan mereka tampaknya tidak perlu dilakukan di balik hubungan terhadap kecenderungan umum yang dirasakan dalam masyarakat industri.

Jaringan – Dari Bawah ke Atas
Telah diketahui bahwa jaringan bisnis tidak mudah diamati dan sebagai akibatnya agar sulit dianalisa. Metode untuk mendeskripsikan jaringan bisnis akan berbeda tergantung apakah fokusnya pada perusahaan perseorangan dan hubungannya ataukah pada jaringan sebagai satu kesatuan yang meliputi hubungan yang beragam. Bagian ini melihat dua pendekatan yang ada dan mengkaji ulang cara-cara alternatif di mana hubungan dan struktur jaringan bisnis telah diidentifikasi dari perspektif wiraswasta perorangan.

Jaringan – Dari Atas ke Bawah
Dilihat dari atas ke bawah, telah diperdebatkan bahwa tempat-tempat diasosiasikan dengan sistem yang berbeda, organisasi bisnis direfleksikan dalam peran penting dan struktur jaringan. Ini adalah klaim Sentral dalam perspektif keterlekatan yang melihat organisasi ekonomi sebagai sebuah subsistem masyarakat yang lebih meliputi politik dan kebudayaan.

Jaringan – Perspektif Menengah
Wawasan luas teori sistem bisnis yang berhubungan dengan dampak terhadap sejarah masyarakat luas dan kekuatan institusional perlu ditambah oleh identifikasi pengaruh komtemporer pada hubungan jaringan. Struktur bisnis bersifat dinamis, merespon perubahan pada pasar, persaingan nasional, teknologi, eksperimen organisasi dan pembelajaran. Pada waktu tertentu sistem bisnis yang dominan merasuki seluruh bagian dengan beragam tingkatan intensitas.

Bisnis Keluarga Dalam Jaringan Etnis dan Sosial
Sistem bisnis yang dibangun di atas jaringan sosial cenderung dilihat sebagai fenomena residu yang mengasumsikan peran pentingnya dalam konteks di mana kepercayaan institusional tidak berkembang atau tidak tersedia bagi kelompok tertentu. Karena karakteristik jaringan bisnis keluarga diharapkan menjadi pemilik unit bisnis kecil, tingkat subkontrak yang tinggi antar perusahaan, hubungan bisnis yang tidak stabil, pembuatan keputusan personal dan kontrol, diversifikasi oportunistik dan lingkaran hidup di dalam bisnis individu. Periode antara pertumbuhan adalah bukan ekspansi yang dipertahankan guna mencirikan perusahaan keluarga.

Perusahaan Etnis
Telah lama dikenal bahwa kecenderungan bagi etnis minoritas untuk mendukung pertumbuhan komunitas bisnis kecil beragam antara kelompok-kelompok rasial. Jadi, ketika semua etnis minoritas cenderung dirugikan dalam pasar tenaga kerja eksternal, yang menyediakan alasan awal mengapa ada minat untuk bekerja sendiri, kelompok etnis yang berbeda kurang lebih juga berhasil mengembangkan komunitas bisnis etnis. Faktor budaya sendiri bukanlah merupakan kondisi yang memadai bagi keberhasilan bisnis minoritas: struktur peluang di dalam masyarakat tuan rumah harus dipertimbangkan dan bagaimana struktur peluang tersebut mendorong atau menghambat perusahaan etnis.
Pengaruh budaya yang mempengaruhi formasi bisnis etnis berhubungan dengan sikap terhadap kerja dan prestasi, dapat dihubungkan dengan pengalaman dan proses historis, di samping juga pertimbangan praktis yang mempengaruhi motivasi dan kemampuan bagi keberhasilan dalam bisnis.
Komponen struktur secara potensial mempengaruhi perkembangan perusahaan termasuk di dalam sumber-sumber etnis dan peluang bagi perusahaan di dalam perekonomian tuan rumah. Etnisitas dapat dianggap sebagai sumber sebagaimana struktur sosial komunitas etnis dapat diubah menjadi aset bisnis.

Jaringan Orang-orang Cina Perantauan
Praktik bisnis orang-orang Cina perantauan telah disusun peringkatnya sebagai salah satu dari tiga bentuk keberhasilan kapitalisme di Asia Pasifik, bersama-sama dengan keberhasilan ini adalah keberhasilan yang ada di Korea dan Jepang. Deskripsi “orang-orang Cina perantauan” berasal dari frase orang Cina untuk istilah “pemukim sementara”. Istilah ini menunjukkan kegiatan bermukim sementara di luar Cina, mungkin konsisten dengan keinginan banyak kaum imigran asli yang sekarang dikacaukan dengan menetap secara permanen di negara asing dan mengubah kewarganegaraan dan kesetiaan politik mereka.
Tiga pengaruh konsisten dan dominan telah diidentifikasi sebagai pengaruh Sentral pada praktik bisnis “orang-orang Cina perantauan”.
1. Paternalisme. Keluarga adalah badan primer untuk sosialisasi dalam kebudayaan Cina yang dipusatkan pada otoritas ayah.
2. Personalisme. Hubungan dengan orang-orang yang dapat dipercaya dan melalui mereka orang-orang lain juga akan dipercaya dianggap sebagai dasar melakukan bisnis.
3. Ketidakamanan. Perasaan dikepung karena minoritas menyebabkan mereka memfokuskan usaha-usaha mengejar kekayaan sebagai jalur guna memperoleh keamanan.

Etika Bisnis Dalam Lingkungan Yang Bermusuhan
Orang-orang Cina diperantauan menyediakan contoh tentang komunitas bisnis etnis yang memperoleh sebagian kekuatannya dari pembangunan hubungan internal yang kuat. Strategi ini berhasil ketika kondisi eksternal memberi peluang bagi ekspansi bisnis orang-orang Cina, termasuk kemampuan untuk mengeksploitasi hubungan politik. Akan tetapi, ketergantungan pada sumber-sumber komunitas dan jaringan personal atau rute menuju kebebasan ekonomi yang lebih disukai oleh etnis minoritas dalam bisnis tidak selalu berhasil. Komunitas bisnis Asia Selatan di Inggris menggambarkan pengalaman alternatif.

Bisnis Keluarga
Bisnis keluarga merupakan sesuatu yang penting di negara-negara Barat dan meluas di atas komunitas etnis. Di Amerika Serikat, berdasarkan definisi sempit secara komparatif, telah diperkirakan bahwa di awal tahun 1990-an bisnis keluarga merupakan lebih dari seperlima seluruh bisnis, menyumbangkan 12% GDP dan mempekerjakan 15% angkatan kerja. Perkiraan ini menerangkan sebuah bisnis sebagai sebuah perusahaan keluarga jika anggota keluarga secra langsung terlibat dalam kepemilikan dan operasi dan jika melibatkan banyak generasi kelompok keluarga dominan, yang juga menyediakan paling tidak satu manajer kursi.
Mengubah struktur keluarga, yang pada umumnya memperlemah jaringan keluarga besar, cenderung mempertanyakan perbedaan bentuk bisnis ini. Sebagai konsekuensinya, persoalan kunci dalam diskusi perusahaan keluarga adalah sejauh mana basis sosial membagi karakteristik yang berbeda ke perusahaan kecil lainnya.
Jaringan Berdasarkan Komunitas
Jaringan berdasarkan komunitas mungkin mendorong sebagian besar minat penumbuh persaingan melalui kerja sama antar perusahaan. Distrik industri Terza Italia merupakan citra yang secara khusus menggambarkan model organisasi industri alterntif, mengkombinasikan inovasi, keterampilan seniman, ketergantungan dan keterlekatan yang kuat terhadap tempat.

Teori Distrik Industri
Pada tahun 1980-an, distrik industri menarik perhatian para peneliti, yang melihatnya sebagai alternatif potensial bagi dominasi berkelanjutan organisasi besar. Dalam keadaan tertentu distrik-distrik ini dapat menawarkan keuntungan pada perusahaan-perusahaan yang terintegrasi secara vertikal.
Beragam keuntungan distrik industri ini merupakan kondisi yang paling tampak dalam ketidakstabilan pasar yang diasosiasikan dengan pergeseran pasar konsumen yang memerlukan rancangan yang dibedakan dan mempersyaratkan akomodasi peningkatan teknologi secara berkesinambungan.

Kasus Italia
Distrik industri di utara Italia tengah secara meluas digunakan sebagai contoh spesialisasi fleksibel. Dalam dekripsi klasik, masing-masing distrik dibuat berskala kecil, unit produksi yang didesentralisasi secara terintegrasi oleh praktik bisnis yang dipandu oleh struktur pemerintahan yang didasarkan pada kepercayaan. Mereka dibedakan berdasarkan produknya-pakaian rajutan di Modena; sepeda, sepeda motor dan sepatu di Bologna; mesin pemroses makanan di Parma; peralatan mesin kayu di Capri tetapi secara umum ditunjukkan sebagai sebuah fenomena yang homogenus. Meskipun diasosiasikan dengan industri yang ‘matang’, distrik tersebut dibentuk oleh perusahaan-perusahaan modern yang selalu siaga terhadap peluang munculnya rancangan baru dan inovasi produksi.
Distrik Industri di Jepang
Meskipun menerima lebih sedikit perhatian dibandingkan dengan Italia, adalah di Jepang yang distrik industrinya secara khusus merata. Survei pemerintah tahun 1974 menidentifikasikan 330 jiba sangyo atau industri yang berlandaskan komunitas dengan nilai hasil produksi minimum sekitar 500 juta yen (3,5 juta dollar).

Baden-Wurttemberg
Baden-Wurttemberg menarik perhatian sebagai satu kawasan industri paling kuat di Jerman dan sebagai sebuah lokalitas yang dibangun di atas kombinasi jaringan bisnis yang dilokalkan dan organisasi manufaktur inti. Negara bagian di bagian barat daya Jerman, dipusatkan di sekitar kota industri utama Stuttgart, memberikan sekitar 16,5% mantan GDP national Jerman Barat.

Lembah Silikon
Lembah Silikon, nama popular bagi kawasan Lembah Santa Clara, terletak di kawasan Teluk San Fransisco dan berpenduduk sekitar 60 juga. Kawasan Lembah Silicon sendiri, tergantung pada bagaimana garis batas ditarik, mempunyai populasi lebih dari 1 juta dan pada 1990 kawasan ini merupakan tempat bagi tersedianya 267.

Jaringan Organisasi
Rentangan luas jaringan bisnis disatukan melalui hubungan kepemilikan, investasi atau keanggotaan bersama. Bila sejumlah jaringan ini merupakan subyek investigasi ekstensif, khususnya kasus kelompok bisnis Asia, kerja sama dan aliensi strategi, maka yang lain relatif tetap diabaikan. Satu komentar kecil tentang jaringan organissi melibatkan Asosiasi trilateral atau federasi.

Kelompok Bisnis
Sebagai contoh jaringan, kelompok bisnis telah dibedakan sebagai seperangkat perusahaan yang diintegrasikan tidak secara menyeluruh atau tidak secara begitu saja. Integrasi parsial ini termasuk daya tahan operasional dan ikatan personal di antara bisnis di dalam kelompok yang secara umum tidak memasukkan kasus perusahaan konglomerat dan perusahaan pemegang merk sebagai contoh kelompok bisnis.
Di luar struktur yang luas ada banyak ragam di antara kelompok bisnis. Granovetter (1994) membedakan dimensi berikut bersama-sama dengan perbedaan yang ada: hubungan kepemilikan, dasar ikatan, struktur otoritas, kerja sama nilai moral, sumber keuangan dan hubungan dengan negara.

Kelompok Bisnis di Asia
Kelompok bisnis merupakan institusi inti di dalam negara-negara industri baru di Asia Timur. Untuk kerja ekonomi Asia yang berubah pada akhir tahun 1990-an memberikan peluang untuk mengamati respon-respon kelompok terhadap lingkungan baru dan ketergantungan mereka pada keefektifan masa lalu. Bagian ini melanjutkan kajian terhadap pengalaman-pengalaman dalam kasus tiga varian utama pada kelompok bisnis di Asia Timur, yaitu yang ditemukan di Jepang, Korea dan Taiwan.

Asosiasi Industri
Jaringan perusahaan dapat dikoordinasikan oleh Asosiasi pihak ketiga atau federasi, dibentuk secara independen oleh perusahaan mana saja, dengan kekuasaan untuk membantu, bersekutu, memandu dan membujuk guna partisipasi dalam bisnis. Satu perspektif cenderung menghilangkan bentuk jaringan ini sebagai lobi pemangsa yang menggunakan tekanan politik guna mengekstrak pengembalian yang tidak dapat dicapai secara langsung melalui pasar. Peran penting mereka telah dipertanyakan dengan dasar bahwa Asosiasi industri terutama menggunakan materi yang tidak berhubungan langsung dengan operasi perusahaan individual.

Aliansi Strategis
Aliansi strategis dapat dilihat sebagai bentuk jaringan yang didalamnya terdiri dari kolaborasi antar perusahaan. Aliansi ini mungkin dibentuk secara kalkulatif, memanfaatkan kontrak tertulis untuk mengenyampingkan oportunisme dan tidak adanya basis alami kepercayaan yang dimiliki oleh jaringan lainnya.
Pertumbuhan kerja sama antar perusahaan melalui aliensi strategis secara umum dilihat sebagai sebuah tanggap bagi pengejaran perluasan bisnis dalam lingkungan yang dicirikan sebagai sesuatu yang tidak stabil dan tidak pasti.

Waralaba
Waralaba adalah sebuah bentuk organisasi yang memungkinkan internasionalisasi banyak komponen ekonomi pelayanan yang pada awalnya merupakan teritorial perusahaan kecil independen. Usaha waralaba memberi respon pada keragaman dalam ekonomi skala antara tahapan awal dan akhir mata rantai produksi dalam sektor usaha makanan cepat saji, pekerjaan pembersihan dan pemeliharaan.
Ada dua jenis utama pengaturan usaha waralaba. Dalam format usaha waralaba merk atau produk, pemilik usaha waralaba secara tipikal adalah produsen atau pemasok yang mencari tempat berusaha bagi produknya.

Jaringan Pemasok dan Pedagang Eceran
Peran pengusaha kecil sebagau subkontraktor menyediakan peluang berbeda bagi jaringan. Keputusan untuk mensubkontrakkan pekerjaan mengimplikasikan sebuah keperluan atau preferensi untuk mempercayakan pekerjaan pada sumber persediaan eksternal dengan kapasitas internal. Bagi pemasok, subkontrak dapat lebih dari sekedar hubungan penjualan. Subkontrak dapat memberikan wawasan ke dalam praktik manajerial pelanggan dan akses ke teknologinya, menyediakan peluang pembelajaran berharga. Bagi pembeli, secara potensial hal itu menyediakan akses untuk sumber-sumber dan keterampilan terspesialisasi disamping juga menghindarkan resiko yang berhubungan dengan tambahan kemampuan internal.
Persoalan Subkontrak
Kecenderungan untuk melihat evolusi biner dalam hubungan pembeli-pemasok, dari permusuhan ke gaya kolaborasi, ternyata kontras dengan persoalan ganda guna dipecahkan oleh perusahaan ketika menentukan strategi subkontraknya. Subkontrak dapat diorganisasikan dalam beragam cara. Bukannya dibandingkan dengan kecenderungan dominan tanggal yang mempengaruhi organisasi pasokan, tetapi mungkin lebih cocok mengamati bagaimana praktik beragam berdasarkan pasar, teknologi dan kondisi kompetitif, di samping juga pengalaman sendiri organisasi individual.
Keputusan tentang pemasok meliputi lima persoalan di mana organisasi dapat merespon secara berbeda:
1. Keputusan dasar melibatkan tingkat eksternalisasi, pilihan kegiatan untuk eksternalisasi atau hak tetap memiliki dan organisasi fungsi pembeli.
2. Pembeli harus menentukan seberapa banyak preferensi untuk memberi pabrik lokal lebih banyak dari pemasok yang berlokasi jauh.
3. Keamanan pasokan dan ketergantungan kontraktor merupakan persoalan lanjutan di mana perusahaan mempunyai variabel preferensi.
4. Perluasan resiprositas dan kolaborasi dalam hubungan pembeli-pemasok beragam.
5. Proses melalui mana unjuk kerja pemasok akan diperkuat merupakan persoalan lebih jauh guna dipertimbangkan.

Subkontrak di Jepang
Telah di kenal bahwa di Jepang subkontrak dipraktekkan secara ekstensif dan bahwa praktik ini mendukung sektor perusahaan kecil yang luar biasa besarnya dibandingkan dengan ekonomi industri lainnya. Sementara proporsi perusahaan kecil sebagai bagian seluruh organisasi hanyalah sekian persen lebih besar dibandingkan dengan yang ada pada kebanyakan negara-negara Eropa dan AS, di mana peran penting ketenagakerjaan di perusahaan kecil ternyata lebih tinggi.
Sistem subkontrak yang paling sering diasosiasikan dengan Jepang ternyata merupakan sesuatu yang wajib dalam gaya mereka. Sistem ini dibangun di atas hubungan hirarki.
Tiga aspek dalam hubungan subkontrak menggaris bawahi gaya kontrak berdasarkan tanggung jawab yang secara tipikal diasosiasikan dengan Jepang.
1. Serangkaian kontrak, dokumen yang berhubungan dan praktik umum untuk mengatur hubungan bisnis.
2. Perilaku kedua belah pihak diharapkan dipandu oleh komitmen asosiasi jangka panjang.
3. Pembeli mengharapkan subkontrak mereka membuat pengurangan progresif dalam biaya setiap kali harga per unit dikaji ulang, yang biasanya dilakukan dua kali dalam setahun.
Asal-usul praktik subkontrak di Jepang telah dihubungkan dengan lima pengaruh:
1. Faktor ekonomi dan teknologi
2. Bingkai hukum
3. Hubungan bank finansial
4. Hubungan sistem ketenagakerjaan
5. Lingkungan kewiraswastaan

Mengubah Hubungan Pembeli - Pemasok
Pemusatan internasional gaya subkontrak dinyatakan oleh reorganisasi praktik di Jepang dan pada saat yang sama model obligasi dipaketkan dan dipromosikan untuk persamaan dalam ekonomi sebelumnya yang diasosiasikan dengan kontrak terperinci. Pemaketan ini secara umum terjadi di bawah pengaruh teknik manajemen gugus kendali mutu, kadang-kadang disatukan dengan sistem inventori tepat waktu.
Tiga dimensi utama mata rantai hubungan:
1. Kesepakatan formal di antara perusahaan-perusahaan
2. Struktur hubungan pembeli-pemasok
3. Bentuk dan isi pertukaran informasi

Subkontrak Bagi Multinasional
Hubungan pembeli-pemasok, disamping dipengaruhi oleh praktik orang-orang Jepang, juga dibentuk oleh pertumbuhan bisnis internasional. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya dalam bab ini, organisasi bisnis internasional mempunyai pilihan khusus untuk mengatur produksi dan sumber input melalui ruang lingkup geografis, kekuatan untuk membeli dan sumber administratif.

Mempromosikan Jaringan di Suatu Negara
Dengan memperhatikan perkembangan ekonomi terbaru, Selandia Baru dikenal secara meluas karena percobaan ekonomi pasar bebasnya. Inisiatif kebijakan ini dimaksudkan untuk menekankan artikulasi proses persaingan dan secara umum dihadirkan sebagai titik tolak radikal dalam kebijakan publik di Selandia Baru. Perubahan manajemen ekonomi mewakili sebuah gerakan menjauh dari sejumlah bentuk aturan industri, tetapi tetap ada yang tertinggal, khususnya warisan Anglo Saxon yang membentuk ekonomi politik negara ini sejak masa kolonisasi dan orang Inggris mendominasi populasi di abad Kesembilan belas.
Pengalaman mempromosikan jaringan bisnis ini berdasarkan minat pada dua tingkatan:
1. Usaha mendorong jaringan dapat dilihat sebagai penyumbang penting meningkatkan unjuk kerja bisnis.
2. Promosi jaringan dapat dilihat sebagai indikasi kemampuan mempromosikan model organisasi industri yang tergantung pada usaha mempertinggi tingkat kepercayaan organisasi.

Lingkungan Jaringan
Selandia Baru tetap mengutamakan ekonomi pertanian, dengan 70% pendapatan ekspor diperoleh dari komoditas yang diproses secara minimal, di mana produksi daging, produk-produk susu dan hasil-hasil pertanian menghasilkan barang yang cukup banyak. Spesialisasi ekonomi, bersama-sama dengan populasi yang relatif homogen didominasi oleh keturunan Inggris dan masalah ekonomi yang terisolasi dan mudah diserang, secara potensial menyediakan lingkungan yang subur bagi struktur bisnis kerja sama. Dalam praktiknya, ini bukanlah kasus sebagaimana sebuah konsekuensi pengaruh historis lainnya dan dampak kebijakan ekonomi.

Jaringan Untuk Pertumbuhan Ekspor
Di Selandia Baru, promosi jaringan bisnis menekankan keuntungan potensial bagi pengembangan ekspor. Fokus ini untuk merespon hilangnya tarif pajak proteksi dan karena adanya keperluan bagi industri domestik guna memperluas perdagangan luar negeri setelah hilangnya peluang di pasar lokal. Jaringan yang paling secara langsung berorientasi pada ekspor telah diprioritaskan karena bagan utama yang menunjukkan minat dalam promosi jaringan adalah Dewan Pengembangan Perdagangan Selandia Baru.

Kelompok Aksi Bersama
Selama akhir tahun 1980-an, Tradenz menaruh minat guna menemukan cara mendorong kelompok industri memainkan peran aktif dalam mempromosikan ekspor, mina ini muncul dan memberi dorongan ekstra setelah adanya laporan dari Proyek Porter.
Kelompok Aksi Bersama (JAB) dirancang oleh Tradenz untuk memfasilitasi koordinasi industri. JAG dirancang guna menyediakan kemitraan antara Tradenz dan kelompok perusahaan yang mempunyai kesamaan dalam minat ekspor dan Berniat memperkuat unjuk kerja ekspor individual mereka melalui beragam perencanaan bersama dan Implementasi kegiatan.
Keragaman antara kelompok direfleksikan dalam perbedaan organisasi berikut ini:
1. Hambatan masuk.
2. Hubungan ke para anggota
3. kegiatan perencanaan dan seleksi
4. Dukungan administratif
JAG membantu para eksportir dengan:
1. Komunikasi dan mata rantai pemasaran
2. Kohesi industri
3. Dukungan bersama
4. Sumber kolektif

Asosiasi Jaringan
Di antara inisiatif jaringan bisnis lainnya di Selandia Baru terdapat usaha untuk mendukung bisnis kecil baru. Bagian ini mengkontraskan dua jenis inisiatif, yang dioperasikan dalam cara berbeda dengan tingkat keberhasilan yang juga berbeda.

Yayasan Penasihat Bisnis Canterbury (YPBC)
YPBC dibentuk oleh Dewan Kota Christchurch pada tahun 1992 untuk memberi dukungan dan pelayanan konsultasi bagi bisnis kecil. Di antara kegiatannya dalah dukungan jaringan yang paling bertahan lama. Ketika pembukuan dan pelayanan bagi pelaku bisnis baru diserahkan pada penyedia swasta, keperluan untuk memberikan pelengkap pada penyedia swasta, keperluan untuk memberikan pelengkap bagi jaringan pendukung yang ditawarkan oleh Kamar Dagang Canterbury tetap dipertahankan.

Inkorporasi Bisnis Kecil, Dunedin
Pendekatan berbeda bagi pengembangan jaringan ada dalam sebuah inisiatif berdasarkan Dunedin dan dikenal sebagai Inkorporasi Bisnis Kecil. Inisiatif mandiri ini dimulai oleh sejumlah pebisnis baru yang bekerja sendiri. Motivasi mereka adalah menyediakan sebuah forum di mana kelompok kecil orang-orang pada tahapan yang sama dalam karier pekerjaan mereka dapat berbagi pengalaman dan sumber.

Contoh Sukses UKM di Sektor Pertanian
Sebagai negara agraris terbesar di dunia sudah sepantasnya bila Indonesia memiliki petani-petani tanggung dan pengelola hasil pertanian atau usaha agroindustri yang mampu meningkatkan nilai tambah bahan mentah yang dihasilkan sektor pertanian.
Memahami akan situasi tingginya campur tangan pemerintah di bidang usaha tani tanaman pangan, khususnya padi dan palawija, kisah yang disajikan dalam bagian ini tidak mengenai sosok petani tanaman pangan. Kisah keberhasilan yang ditampilkan justru datang dari sektor dengan campur tangan pemerintah yang masih terbatas, yakni kisah petani buah-buahan (salak pondoh) dan pengusaha agroindustri (kopi racik) yang mengolah hasil berbagai jenis tanaman rempah. Bagi petani lain pemaparan kisah sukses ini diharapkan akan memberikan motivasi untuk dapat juga menjadi petani tangguh, sedangkan bagi masyarakat umum kisah ini diharapkan dapat lebih memberikan pemahaman mengenai kunci keberhasilan menuju sukses.

Petani Salak Pondoh di Sleman DI Yogyakarta
Kisah petani salak pondoh ini diangkat dari pengalaman Bapak Sukamto yang memutuskan untuk berwirausaha di bidang pertanian selama 18 tahun berkarya di Bank Dagang Negara (BDN). Kenangan masa kecil akan suasana kehidupan desa yang tenang telah menguatkan niat karyawan BDN ini untuk segera mengambil hak pensiun, meskipun harus menanggung resiko menerima uang pensiun hanya sebesar 50 % gaji. Padahal jika ia mau menunggu dua tahunlagi, hingga masa kerjanya genap 20 tahun, ia akan memperoleh pensiun sebesar 75 % gaji. Hal lain yang mendorongnya untuk memilih usaha pertanian sebagai pilihan kegiatan di masa pensiun adalah hobi akan kegiatan budidaya tanaman yang terpupuk sejak kecil dan ketersediaan waktu serta sarana untuk menyalurkan hobi tersebut selama masih bekerja sebagai karyawan bank.
Usaha tani tanaman salak pondoh yang ditekuni oleh Pak Kamto selama 11 tahun telah membuahkan hasil yang membahagiakan, baik dari sisi materi maupun dari sisi kepuasan jiwa atas keberhasilan berwirausaha. Saat ini, pada usia 63 tahun, ia merasa telah menjalani keputusan tepat yang diambilnya 15 tahun lalu. Keyakinan akan kemampuannya berwirausaha sebagai petani telah membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Ia mampu menyekolahkan ke empat anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi, membangun rumah sendiri, mengembangkan usaha pemondokan, menunaikan ibadah haji dan membangun masjid di desa tempat tinggalnya. Meskipun usianya kini telah menginjak kepala enam, kesehatan dan dayapikirnya masih prima.
Kejujuran merupakan prinsip hidupnya yang dijunjung tinggi dan dipegang teguh dalam menjalankan usaha sehari-hari. Kejujuran diyakini sebagai faktor utama Pembawa sukses yang diperolehnya saat ini. Hal lain yang menonjol pada diri petani salak pondoh ini adalah ketekunan yang luar biasa dalam bekerja dan kemauan yang tinggi untuk mencoba hal-hal baru, sehingga ia dapat menemukan cara budidaya salak pondoh yang menghasilkan produktivitas tinggi, kualitas baik dan tanaman cepat menghasilkan.
Salak pondoh merupakan hasil utama usaha pertanian yang dikelola oleh Pak Kamto. Tanaman salak pondohnya berada di atas hamparan 0,8 hektar, terletak di daerah persawahan yang tidak jauh dari rumah.
Produksi salak pondoh berfluktuasi dari bulan ke bulan. Panen raya dimulai sekitar pertengahan bulan Oktober-Januari, panen kecil berlangsung pada periode bulan Pebruari-April, sementara panen sedang pada bulan Mei-September. Pada masa panen raya produksi salak pondoh mencapai sekitar dua ton per bulan. Pada masa panen kecil dan sedang rata-rata produksi berkisar 1,5-2 kuintal per bulan. Dalam periode 12 bulan kebun salak pondoh Pak Kamto diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 6-8 ton.
Harga salak pondoh juga berfluktuasi cukup tajam mengikuti musim. Pada masa panen raya harga salak pondoh masih relatif tinggi, yakni Rp. 3.500,00 per kilogram. Harga ini biasanya bertahan hingga akhir bulan Nopember. Dua bulan selanjutnya harga akan menukik rutun hingga Rp. 2000,00 per kilogram. Bulan Pebruai sampai September relatif stabil Rp. 3.500,00 sampai Rp. 4.000,00. Dengan kondisi harga seperti ini dapat diharapkan penerimaan selama satu tahun sebesar Rp. 18-20 juta. Setelah dikurangi dengan biaya-biaya pemeliharaan dan upah tenaga kerja, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 12-14 juta per tahun, atau memberikan penghasilan bersih sekitar Rp. 1,2 juta per bulan.
Pak Kamto adalah mempunyai kemampuan teknik budidaya tanaman yang sangat matang pada dirinya. Kemampuan tersebut tidak diperoleh begitu saja, melainkan merupakan hasil kristaliasi dari pengalam bercocok tanam selama bertahun-tahun dan mengamati perilaku pasar hasil bumi. Dalam segi pemasaran, aspek Kejujuran, ketepatan waktu pengiriman dan jaminan kualitas unsur yang sangat menonjol untuk menghadapi persaingan. Kemampuan menekan biaya selama tahap perluasan usaha.
Agro Industri ‘Kopi Racik’ di Kediri
Wien Wiyanto (penemu kopi racik) dilahirkan di Kediri pada tahun 1951, tepatnya pada 5 Desember. Meskipun usianya saat itu telah memasuki 45 tahun, semangat dan gerak langkah untuk meraih kemajuan lebih mencerminkan semangat seorang pemuda. Masih banyak impian dan angan-angan yang ingin diwujudkan untuk mengembalikan pamor jamu Jawa.
Dalam upaya mengembangkan ramuan ‘kopi racik’, Pak Wien didampingi oleh istrinya (Ibu E. Setyowati Wiyanto), baik semasa masih melakukan penelitian maupun pada masa produksi masal serta promosi ke berbagai daerah di Indonesia. Dan luar negeri. Selama tahap penelitian Ibu Setyowati berperan sebagai Asisten utama pelaksanaan pembuatan ramuan.
Produksi ‘kopi racik’ Pak Wien saat ini telah mencapai sekitar 1,5 ton per hati dan dikemas dalam dua bentuk, yakni kemasan cempluk dan kemasan kecil (sachet). Kapasitas produksi ‘kopi racik’ dalam kemasan cempluk saat ini sekitar 5000 buah per hari. Saat ini harga ‘kopi racik’ kemasan cempluk di pasaran bebas berkisar antara tiga ribu sampai empat ribu rupiah.
Tenaga kerja pada pabrik ‘kopi racik’ telah mencapai sekitar 260 orang, yang terbagi atas tenaga kerja organic (bekerja di pabrik) sekitar 90 orang, dan tenaga kerja bukan organic (bekerja di luar pabrik) sekitar 170 orang.
Dalam waktu hanya sekitar tiga tahun pemasaran ‘kopi racik’ telah berkembang pesat. Hingga akhir tahun 1996 pemasaran ‘kopi racik’ telah menjangkau seluruh kota-kota besr di Jawa. Dalam menjalankan pemasaran ke daerah-daerah dilakukan kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di bidang distribusi. Pelaksanaan kerjasama ini selalu dilandasi dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak.
Usia minuman ‘kopi racik’ memang belum lama, bahkan secara efektif dapat dikatakan baru menginjak tahun ke empat pada tahun 1996. Namun demikian kehadirannya ditengah masyarakat telah lama menjadi obsesi dari Pak Wien Wiyanto.
Mengikuti perkembangan usaha Bapak Wien di atas kiranya hanya kata “pantang menyerah” lah yang cocok untuk dipakai sebagai terminology bagi faktor penyebab keberhasilannya.
Di bidang pemasaran, langkah yang ditempuh Pak Wien dalam melakukan promosi sangat luar biasa, baik dilihat dari segi media yang dipilih maupun ongkos yang harus dikeluarkannya.
Kemampuan usaha Pak Wien menghasilkan laba tidak terlepas dari keberhasilannya mempromosikan ‘kopi racik’ dan membangun citra sebagai minuman sehat yang berkhasiat dan berkualitas tinggi, sehingga tercipta pasar dengan permintaan yang begitu besar. Hal ini dikombinasikan dengan kemampuan inovasi Pak Wien yang sangat tinggi dalam rekayasa mekanik, sehingga seluruh mesin yang digunakan adalah merupakan buatan sendiri.
Dukungan dari istri dan anggota keluarga yang “menyeluruh” juga merupakan kunci penentu keberhasilan mewujudkan minuman ‘kopi racik’. Faktor external yang turut mempunyai andil besar dalam perkembangan ‘kopi racik’ adalah menguatnya komitmen politik pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil dan agri-industri sejak awal tahun 1990-an.

Contoh Sukses UKM di Sektor Industri
Pengusaha Kerajinan di Kudus

Noor Mustaqim dilahirkan di Desa Besito, Kudus, pada 3 Juni 1958. Di desa ini pula Taqim meraih sukses dalam mengembangkan usaha kerajinan dengan nilai seni yang unggul. Pria yang terkesan sangat sederhana ini berasal dari keluarga yang cukup besar. Dalam suasana yang sederhana ini, orang tuanya tetap menekankan kepada anaknya untuk melanjutkan pendidikan, paling tidak sampai tingkat Sekolah menengah umum.
Usaha kerajinan yang dirintisnya sejak awal tahun 1992 menunjukkan perkembangan yang baik setiap tahun. Dengan modal awal sekarang tanah liat, usaha tersebut mengalami modal awal sekarung tanah liat, usaha tersebut mengalami perkembangan nyata. Keadaan ini tergambar dari peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap, omzet yang meningkat, serta aset yang bertambah.
Pada tahun 1993, perusahaan Taqim yang dikenal sebagai industri kerajinan “Matra” telah mempekerjakan 30 orang karyawan tetap. Bahkan bila ada order khusus, perusahaan ini bisa mempekerjakan tenaga kerja harian sampai dengan 400 orang.
Dari perkembangan usaha yang dirintis, Talqim berhasil menambah aset berupa tanah dan bangunan. Beberapa di antaranya adsalah sawah 8.000 meter, tanah di perbukitan 2.000 meter dan, yang tengah dalam proses pelunasan, tanah 2,5 hektar. Aset itu yang nantinya menjadi modal bagi pengembangan usahanya.
Dukungan lembaga penopang lebih dirasakan Taqim melalui pribadi-pribadi yang bekerja di instansi pemerntah. Seperti direktur utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Panut Harsono, manten Menteri Kehakiman Ismail Saleh.
Untuk mendukung modal kerjanya, Taqim menggunakan sistem penunjukan ketika mengerjakan proyek interior atau bertindak sebagai subkiontraktor, dengan persyaratan pembayaran uang muka 50 persen dari nilai kontrak.
Berkat dukungan Bapak Panut Harsono, akhirnya Taqim bisa mewujudkan impian untuk mengadakan pameran tanggal tiga tahun lebih cepat dari rencana semula. Dalam pameran tanggal yang pertama, yang bersamaan dengan Pameran Pembangunan Jawa Tengah di Balai Agung Merapi, Semarang.
Pameran tanggal itu dilaksanakan selama 1 bulan dalam bulan September 1995. Tercatat pengunjung pameran pembangunan 1995 yang datang jauh melampaui pameran pembangunan sebelumnya.
Taqim merupakan seorang figure pengusaha yang relatif langkah di Indonesia, karena ia bisa meraih kesuksesan baik sebagai seniman maupun sebagai pengusaha kerajinan. Terdapat beberapa ‘kekuatan’ yang dimiliki Taqim dalam meraih kesuksesan yang dicapainya.
- Memiliki daya inovasi yang kuat.
- Mempunyai kemampuan manajemen pribadi yang menonjol, utama disiplin dalam waktu.
- Mempunyai visi yang jelas dalam menyongsong masa depan.
- Tidak takut dengan kegagalan.
- Tidak ragu dan menyesat dengan segala keputusan yang diambil.

Pengusaha Tas Kulit di Jakarta
Iin Johariah dibesarkan dari keluarga sederhana. Ayahnya yang hanya seorang pegawai pemerntah biasa membuat Iin masih sempat merasakan pembagian jatah nasi pada masa kecilnya. Meskipun demikian ia tak lupa bersyukur, karena masih bisa menyelesaikan studinya sampai tingkat Sarjana Muda.
Usaha yang bergerak dalam industri tas ini mulai berdiri pertengahan 1991, saat itu ia berusia 33 tahun. Pada awalnya Iin hanya memproduksi tas-tas untuk traveling dengan model-model yang sederhana. Kemudian dengan meningkatnya order, permintaan akan model-model tas yang lebih rumit juga meningkat.
Pada awalnya usaha ini cuma bermodalkan dua mesin jahit, gunting dan cutter, dengan mempekerjakan dua tukang tas di sebuah rumah cicilan. Dengan perkembangan order yang diperoleh, Iin dapat menambah peralatan usaha, seperti mesin jahit, mesin potong, mesin embosse, mesin seset, mesin cangklong dan mesin bungkus. Bahkan saat ini ia sudah membuka dua toko (outlet) untuk pemasaran produk-produknya. Ia juga bisa membeli dua rumah yang menjadi bengkel kerja dan rumah tempat tinggalnya, serta tanah 2.000 meter yang direncanakan untuk tempat perluasan bengkel kerja. Lokasi bengkel kerja dan rumah tempat tinggal yang bersebelahan menyebabkan Iin relatif mudah mengawasi pekerjaan para karyawan.
Kemampuan Iin dalam membina relasi selama ini ditunjang pula oleh kemampuannya menguasai dua bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Dengan modal itu pemasaran produknya meningkat terus.
Kebiasaan bekerja keras merupakan kunci utama keberhasilan Iin Johariah dalam sekolah, karis, dan usaha.



Contoh Sukses UKM di Sektor Jasa
Pengusaha Soto Ayam dan Ayam Goreng Bangkok di Semarang
Di Kota Semarang warung soto ayam dan ayam goreng bangkok merupakan warung yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Dari kalangan pejabat, pengusaha, profesional, sampai tukang becak dan pedagang asongan menjadi pelanggannya. Warung soto yang terletak di Plaza Jl. Brigjen Katamso ini adalah usaha milik Bapak H. Soleh Soekarno.
Menu utama yang disediakan adalah soto ayam dan ayam goreng. Setiap hari warung tersebut buka dari pukul 7 pagi hingga pukul 10 malam dengan dua shift. Pak Soleh dibntu sekitar 40 orang karyawan.Kebutuhan bahan untuk soto ayam dan ayam goreng Bangkok dipenuhi dari penjual yang mengantar langsung ke tempat.
Pada awalnya Pak Soleh berjualan soto dengan memikul angkring mulai dari karang Pucung hingga Bangkong, kira-kira 1 km sekitar tahun 1950. Setelah tahun 1952, perkembangan penjualan soto ayam Pak Soleh mulai pesat dan sudah mempunyai dua karyawan. Pada tahun 1955 Pak Soleh pindah ke tempatnya berjualan saat ini. Selama tahun 1952 sampai 1955 Pak Soleh Soekarno telah memperkerjakan empat orang dan menghabiskan empat atau lima ekor ayam sehari. Pada tahun 1957, Pak Soleh Soekarno telah mampu membeli rumah sendiri di Semarang, membeli rumah di desa serta menyekolahkan anak-anak.
Perusahaan Pak Soleh telah mempunyai banyak cabang dengan omzet yang bervariasi mulai dari 400 ribu sampai dua juta per hari.
Adanya semangat untuk terus maju, langkah inovasi dalam memperluas pasar dan strategi untuk menekan biaya produksi telah membuat Pak Soleh dapat berkembang dan terus bertahan dalam iklim persaingan yang sangat kompetitif. Namun demikian, meningkatnya omzet dan banyaknya cabang yang dibuka di luar kota Semarang tidak lepas dari dukungan lembaga perbankan.
Pengusaha Restoran Iklan Patin “Usaha Baru” di Pekanbaru
Setiap orang yang menginjakkan kaki di tanah Lancang Kuning (Riau) tentunya tidak akan lupa untuk merasakan nikmatnya ikan patin. Menyadari potensi ikan patin di Propinsi Riau ini, H. Muhammad Yunus tegerak hatinya untuk mengembangkannya. Sejak 1988 H. Muhammad Yunus (Pak Haji) telah mulai mengkomersilkan ikan patin melalui warung yang berukuran 4 x 6 meter dan masih berstatus sewa di Jalan Nangka, Pekanbaru. Hanya dalam waktu delapan tahun, Pak Haji telah mempunyai restoran ikan patin “Usaha Baru” yang sangat representatif di Simpang Tiga, sekitar lima menit dari bandara Simpang Tiga, Pekanbaru.
Menu yang disajikan oleh Pak Haji tidak sebatas masakan ikan patin asam pedas, tetapi juga kombinasi dengan makanan khas dari seluruh Propinsi Riau. Sehari-hari Pak Haji dibantu oleh karyawan sebanyak 30 orang.
Dari pengunjung yang datang langsung dan pesanan yang diterima omzet restoran ikan patin per hari sekitar Rp. 2,5 juta.
Keberhasilan yang dicapai Pak Haji saat ini sebetulnya diawali oleh semangat dan keinginan untuk maju guna mencapai kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan kehidupan yang dialami oleh orang tua Pak Haji. Tekad tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk keputusan Pak Haji meninggalkan kampung halaman untuk merantau.
Sedikit uang simpanan selama merantau dipergunakan oleh Pak Haji untuk berdagang kelontong di kampung halaman.
Semangat pantang menyerah yang dalam diri Pak Haji juga tercermin sewaktu Pak Haji bekerja di warung padang. Awalnya ia bekerja sebagai tukang cuci piring dan semua jenis pekerjaan yang terdapat di waarung makan itu sebelum akhirnya menjadi tukang masak. Hasil yang diperoleh selama perjalanan pengalaman itu adalah pertama, keahlian (skill) memasak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu; kedua, adanya keinginan untuk maju seperti warung padang yang ada di mana-mana.

Kiat-kiat Menghadapi Permasalahan UKM
Kiat Menghadapi Masalah Permodalan
Walaupun ada pengusaha yang sukses dengan pembiayaan sendiri, kiranya dukungan lembaga perbankan, secara umum, harus diakui dapat membantu percepatan sukses suatu usaha. Seluruh pengorbanan di atas mengajarkan pada para wirausaha Indonesia agar tidak melangkah mundur bila menghadapi situasi kekurangan modal, tetap berpikir kreatif dalam mencari jawabannya serta terus melangkah maju dengan sikap positif meski kadang tersendat.

Jalan Keluar Menanggulangi Masalah Bahan Baku
Pengusaha kecil dituntut untuk mendalamai situasi ketersediaan bahan baku dan kondisi produsennya. Hal ini diperlukan guna mengantisipasi gejolak (fluktuasi) ketersediaan dan harga bahan baku agar tidak banyak mengganggu perkembangan usaha. Bahkan, bila dibutuhkan adanya peningkatan kualitas bahan baku, pengusaha kecil harus rela melunakkan waktu memberikan bimbingan teknis dan bntuan peralatan pada para pemasok selaku mitra kerja. Dengan kata lain, pengusaha kecil harus mau dan rela meneruskan semua informasi atau sinyal pasar pada pihak pemasok demi kelangsungan usaha dalam jangka panjang.
Contoh sukses usaha kecil di sektor pertanian, industri dan jasa yang dipaparkan dalam buku ini dapat dijadikan contoh bagi siapa saja yang berminat memulai wirausaha dan bagi mereka yang sedang menapak kehidupan sebagai wirausaha. Beerapa etos kerja yang menjadi kunci sukses mereka, antara lain:
1. Sukses hanya dapat diraih melalui perjuangan dan kerja keras, serta tidak menyesali keputusan melakukan wirausaha
2. Memulai jenis usaha yang sesuai dengan pengalaman kesenangan (hobby) atau bakat yang dimiliki
3. Mengerti setiap aspek usaha yanga ditekuni
4. Melambungkan harapan, cita-cita dan impian yang tinggi dan berupaya untuk merealiasikannya
5. Mengembangkan budaya kerja yang merangsang inovasi dan kreatifitas
6. Menyediakan waktu untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai
7. Menghayati bahwa kegagalan dan pengalaman pahit adalah ujian dalam meraik sukses